googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU

Selasa, 26 Mei 2009

Gunung Mulia, Tonggak Penerbit Buku Kristen




By.Sahala Napitupulu.

Dia pemancang tonggak sejarah penerbit buku Kristen di Indonesia. Dalam usianya yang sekarang, lebih dari setengah abad, dia terus melayani kebutuhan gereja dan umat Kristen melalui literatur. Itulah Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, penerbit Kristen tertua di Indonesia sesudah Kanisius. Bila penerbit Kanisius mulai berkarya se jak Januari 1922, maka penerbit Gunung Mulia memulainya tahun 1950. Ada lagi penerbit yang lebih muda usianya, Immanuel yang didirikan Agustus 1967.

Kanisius, yang mula-mula bernama Canisius Drukkerij, berkiprah untuk memberdayakan Indonesia melalui dunia pendidikan. Berdirinya sekolah-sekolah Kanisius, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas diberbagai wilayah, merupakan bukti komitmen Kanisius. Tapi, tak hanya itu. Melalui penerbitan Kanisius kebutuhan murid terhadap buku sekolah dan bacaan bermutu dapat terpenuhi. Buku-buku terbitan Kanisius meliputi berbagai bidang, antara lain keagamaan, humaniora, teknologi, pertanian dan lain-lain. Namun, tidak banyak orang tahu bahwa dahulu kala, tepatnya di tahun 1928, Canisius Drukkerij juga pernah menerbitkan surat kabar : Tamtama Dalem dan Swaratama. Kedua koran itu diterbitkan untuk mendukung cita-cita perjuangan kemerdekaan pemuda Indonesia kala itu.


Sementara penerbit gunung Mulia berdiri dilatar belakangi kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya soal politik. Untuk pembangunan bangsa, nilai-nilai spiritual dan rohani juga perlu ditanamkan. Seperti kata orang bijak, nation building harus disertai church building. Sejalan dengan kearifan itu, Oktober 1946 didirikanlah Badan Penerbit Darurat dari Zending dan Gereja. Badan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Badan Penerbit kristen (BPK) ditahun 1950. Dan dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1971, namanya berganti menjadi BPK Gunung Mulia dan dipakai hingga sekarang.

Berkat Verkuyl

Sejarah penerbit Gunung Mulia tak bisa tidak terkait dengan nama seorang Belanda, Dr.Jo Verkuyl. Pada mulanya 28 Desember 1939. Verkuyl dan istrinya Rie dengan tiga anak berangkat naik kereta api malam menuju Genoa, kota pelabuhan di Italia. Dari situ mereka naik kapal Belanda menuju Indonesia. Keluarga itu kemudian tiba di Tanjung Priok pada awal januari 1940. Kedatangan Verkuyl ke Indonesia adalah sebagai pendeta misionaris yang diutus oleh Gereja Gereformeerd Rotterdam.


Di Indonesia, ia kemudian banyak membina umat serta membangun kerjasama dengan pendeta-pendeta lokal. Salah satu mimpinya ialah supaya gereja memiliki badan penerbit sendiri untuk memproduksi dan mendistribusikan bahan bacaan, seperti majalah dan buku. Namun, mimpinya itu tak bisa segera ia realisasikan. Sebab di tahun 1942 Jepang menginvasi dan menguasai Indonesia. Verkuyl, sama seperti orang Belanda lainnya, dijadikan tawanan tentara Jepang. Ia ditawan di Purwokerto, lalu Pekalongan, Ngawi dan akhirnya Cimahi. Ia dipenjarakan hampir tiga setengah tahun lamanya.

Setelah Indonesia merdeka barulah ia dibebaskan. Dan pada tahun 1946, atas dorongan dan bantuan sahabatnya Pdt.C.Kainama dan Pdt.B.Probowinoto, Verkuyl dapat mewujudkan mimpinya mendirikan Badan Penerbit Darurat dari Zending dan Gereja. Dan bersama dengan sahabat-sahabatnya, antara lain Alfred Simanjuntak, mereka mendirikan BPK Gunung Mulia. Pada mulanya badan penerbit Kristen ini merupakan bagian dari pelayanan Dewan Gereja Indonesuia (DGI). Tapi, sejak 1971 Gunung Mulia berdiri sendiri.

Sudah Online

Pada mulanya hanya buku teologi. Buku Tafsir Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru serta Konkordansi Alkitab, sejak awalnya merupakan produk utama Gunung Mulia. Menyusul buku-buku homiliotik, katekismus, etika, pastorat, apostolat sejarah gereja, relasi iman dengan ilmu pengetahuan, kamus Alkitab dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, sekarang penerbit ini tidak hanya menerbitkan buku agama Kristen. Ia juga telah menjelajah ke penerbitan buku-buku sekuler. “ Tapi, walau kami menerbitkan buku sekuler, nilai buku itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, “ ujar Ir.Otniel Aintoro, Chief Publisher Gunung Mulia. Ia menjelaskan bahwa buku-buku yang masuk kategori “ non-rohani “ itu diterbitkan dibawah logo bertuliskan Libri dengan gambar buku terbuka. Dalam kategori ini sebutlah seperti koleksi buku humaniora, biografi, bacaan populer, novel, manajemen dan lain-lain.

Dinamika dan perkembangan dunia penerbitan sekarang terlihat dari munculnya penerbit-penerbit muda. Penerbit muda yang lebih militan dan agresif dalam merebut pasar. Banyak penerbit-penerbit tua terdepak karena kalah agresif. Gunung Mulia tentu haruis ikut bersaing. Dan untuk bisa memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan beberapa syarat. Salah satunya ialah pengelolaan yang profesional. Gunung Mulia sadar betul mengenai hal ini. Oleh karena itulah mengapa sejak lima tahun terakhir ini Gunung Mulia mengembangkan manajemen profesional. Hasilnya, seperti kata Otniel, disaat banyak penerbit buku sekarang terpuruk dan bangkrut, Gunung Mulia bisa bertahan. Tidak hanya bertahan tapi juga berkembang.

“ Kini kami memiliki lima kantor cabang dan tujuh toko sendiri. BPK Gunung Mulia kini mempekerjakan sekitar 300 orang karyawan. Dengan team work kami yang sekarang, kami bisa menerbitkan sekitar 200 judul pertahun atau sekitar 17 judul buku per bulan, “ kata Otniel kepada wartawan TAPIAN. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, bagi masyarakat yang ingin mengetahui buku-buku terbaru atau ingin membeli buku terbitan Gunung Mulia, sekarang sudah bisa belanja online dengan mengklik www.bpkgm.com

* keterangan photo : Bpk.Nandar, direktur BPK.Gunung Mulia dan toko buku Gunung Mulia, jl.kwitang raya, no.22-23, Jakarta Pusat.

* Tulisan ini telah dimuat dimajalah TAPIAN edisi Mei 2009.












Senin, 02 Maret 2009

Semoga Jayalah, Pustaka Jaya...



By Sahala Napitupulu.

Menyebut nama Pustaka Jaya, sekurang-kurangnya kita pasti akan teringat dua hal. Pertama, dia adalah penerbit buku sastra bermutu. Kedua, nama sastrawan Ajip Rosidi, 71 tahun, yang dikenal sebagai sosok sastrawan yang produktif. Dia menulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi sumbangannya pada sastra Sunda fenomenal. Pada usia belum 15 tahun dia sudah menerbitkan sebuah novel. Ketika teman-teman sebayanya masih duduk di sekolah menengah pertama, dia menjadi pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar. Umur 17, Ajip adalah salah seorang redaktur Balai Pustaka. Dia menulis lebih dari 50 judul buku dalam Bahasa Indonesia maupun Sunda.
Sebelum lahirnya Pustaka Jaya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari dan Tjupumanik di Jatiwangi. Setelah Pustaka Jaya lahir, dia mendirikan penerbit Girimukti Pusaka dan Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai sekarang, seperti Pustaka Jaya, namun ada juga yang telah lama berhenti.
Sebagaimana yang diuraikan Ajip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan,” lahirnya Pustaka Jaya bukanlah hasil dari suatu seminar atau pertemuan para sastrawan. Ia berawal dari sebuah percakapan ringan di awal 1970-an antara dirinya dengan Ali Sadikin yang menjabat guberniur Jakarta waktu itu. Di antara perbincangan yang berlangsung di rumah sang Gubernur, tercatat kegelisahan seperti ini:
“Mengapa anak-anak sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik,” tanya Ali Sadikin mengungkapkan keprihatinannya.
“Untunglah mereka masih membaca. Bahwa mereka membaca komik karena hanya itulah yang ada. Buku tidak ada. Para penerbit kita tidak menerbitkan buku untuk bacaan anak-anak, untuk orangtua juga tidak banyak,” jawab Ajip Rosidi.
“Mengapa?” tanya sang Gubernur lagi. Ajip lalu menjelaskan situasi penerbitan dan perbukuan sesuai dengan pengalaman dan pengamatannya.
“Kebanyakan penerbit, terutama mendahulukan mencari keuntungan, sehingga menerbitkan buku itu hanya yang nyata-nyata dicari oleh masyarakat. Penerbit buku bacaan yang baik, seperti dahulu Balai Pustaka tidak ada lagi. Dahulu pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi untuk Balai Pustaka, tapi pemerintah kita tidak. Bahkan Balai Pustaka pernah diberhentikan fungsinya sebagai penerbit. Hanya dijadikan percetakan saja,” urai Ajip kepada sang Gubernur.
Siapa menyangka percakapan ringan itu berbuah kesepakatan untuk mendirikan satu penerbit yang menyediakan buku bacaan yang baik buat anak-anak dan orangtua. Gubernur bersedia menyediakan pinjaman modal untuk keperluan itu, yang akan dikembalikan kalau penerbit tersebut sudah mampu berdiri sendiri. Pinjaman modal diberikan melalui Yayasan Jaya Raya yang diketuai oleh Ir Ciputra, sebesar Rp 20 juta. Mei 1971, penerbit itu pun resmi berdiri. Ajip Rosidi memberinya nama Pustaka Jaya, sedangkan Ciputra pada mulanya menginginkan nama Jaya Pustaka. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1976, Pustaka Jaya tidak lagi di bawah naungan Yayasan Jaya Raya, tetapi telah berdiri sendiri di bawah bendera PT Dunia Pustaka Jaya.

Kawan lama Ajip
Pada mulanya, kantor Pustaka Jaya masih menumpang di kompleks Taman Ismail Marzuki. Setelah keuangan perusahaan cukup sehat, Pustaka Jaya mampu membeli gedung untuk kantor sendiri di Jalan Kramat II no. 31A dan di Kramat Raya no.5K, Jakarta. Namun, apa daya, di era 1990-an, Pustaka Jaya mengalami krisis keuangan, sehingga satu dari dua gedung itu harus dijual untuk menutupi utang-utangnya. Kini, kantor satu-satunya terletak di Kramat Raya no.5K, yang juga berfungsi sebagai gudang.
Seri buku karya sastra dan budaya merupakan produk Pustaka Jaya. Ia mengutamakan karya sastera lama dan baru, baik dari pengarang Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari karya klasik dunia. Ketika jumlah judul buku yang diproduksi sudah cukup banyak, muncul masalah bagaimana mamasarkannya. Untuk membantu promosi buku-buku Pustaka Jaya, Gubernur Ali Sadikin waktu itu sempat mengadakan konferensi pers di Balaikota. “Buku-buku (Pustaka Jaya) ini bagus. Harus dijual bebas kepada masyarakat,” katanya kepada para wartawan. Kata-kata sang Gubernur ternyata kurang memikat publik, dan penjualan buku-buku Pustaka Jaya berjalan dengan seret.
Ajip bercerita, sesudah konferensi pers tersebut, dia lalu mencoba menawarkan buku-bukunya ke semua sekolah dasar ada di wilayah DKI Jakarta. Waktu itu di Jakarta terdapat kurang lebih 1.000 sekolah dasar. Hasilnya betul-betul menyedihkan. Yang menyambut penawaran itu hanya satu sekolah. Itu pun karena kepala sekolahnya kawan lama Ajip di Jatiwangi. Kenyataan itu menunjukkan betapa kecilnya perhatian para kepala sekolah dasar di Jakarta terhadap buku bacaan sastra. Perhatian mereka pada perpustakaan juga memprihatinkan.
Berdasarkan kenyataan pahit itu, Ajip berpendapat bahwa yang pertama-tama harus dia jual bukanlah produk buku, melainkan gagasan. Gagasan agar para guru dan orangtua mendidik anak-anaknya supaya suka membaca. Soalnya, bagaimana meningkatkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak sejak usia dini. Ajip sering berkeliling ke sekolah-sekolah dasar maupun menengah di Ibu Kota maupun di luar Jakarta. Dia berkeliling untuk memberikan ceramah-ceramah tentang pentingnya siswa banyak membaca dan pentingnya sekolah memiliki perpustakaan.
Jerih-payah Ajip tidak percuma. Lambat laun, buku-buku Pustaka Jaya mulai mendapat sambutan. Itu terlihat dari resensi-resensi buku dan berita tentang Pustaka Jaya yang dimuat di surat-surat kabar. Masyarakat mulai haus akan buku-buku bermutu.
Tidak hanya itu. Sambutan masyarakat terhadap buku-buku Pustaka Jaya ternyata ikut membangkitkan semangat di kalangan penerbit lain. Penerbit-penerbit terkemuka, seperti Djambatan, Gunung Agung dan lainnya, yang tadinya terseok-seok jadi optimis setelah melihat sukses Pustaka Jaya. Lihatlah, dalam katalog daftar buku tahun 1984, tercatat Pustaka Jaya waktu itu telah menerbitkan lebih dari 600 judul buku dengan lebih dari 10 juta eksemplar. Itu artinya, hampir setiap minggu ada buku baru yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Dan dari jumlah 10 juta eksemplar itu, lebih dari sembilan juta terserap oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum.
Buku-buku Pustaka Jaya sering menjadi rujukan. Para pengarang pastilah sangat bangga bila karya-karya mereka diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Namun, kejayaan penerbit ini tak bertahan lama, tak semantap nama Ajip Rosidi dalam sastra dan budaya. Kekeliruan kebijakan dan salah urus di era 1990-an membawanya ke tepi jurang. Kini, tak banyak lagi buku edisi baru yang bisa dia terbitkan, kecuali hanya beberapa judul dalam setahun. Kerjanya hanya mencetak ulang buku-buku lama.
Jika penerbit lain telah memiliki website dan memanfaatkan media online untuk memasarkan buku-buku mereka, tidak demikian halanya Pustaka Jaya. Menurut manajernya, Ahmad Rivai, dunia maya atau website baru berupa angan-angan, belum merupakan prioritas. Ia menyebut krisis keuangan yang dialami Pustaka Jaya dahulu cukup parah. “Ibaratnya, sakit yang kami alami telah memasuki stadium dua. Sehingga sampai sekarang Pustaka Jaya masih dalam tahap pemulihan supaya bisa kembali menjadi perusahaan yang sehat,” kata Rivai. Semoga Pustaka Jaya bisa mengembalikan kejayaannya.
* Tulisan ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi Maret 2009.

Selasa, 27 Januari 2009

Dian Rakyat, si Tua yang Masih Bercahaya





(kantor penerbit Dian Rakyat)

By Sahala Napitupulu.

Dian berarti pelita yang membawa cahaya terang. Itulah maksud kehadiran penerbit ini sejak awalnya. Memberi cahaya kepada rakyat Indonesia melalui bacaan dalam bentuk buku-buku bermutu. Sekarang umurnya sudah termasuk tua. Ia bersaing dengan penerbit-penerbit muda yang lebih agresif dalam merebut pasar. Mereka bahkan memiliki tim penulis kreatif. Namun, ia masih punya tempat istimewa dalam hati dunia perbukuan di Indonesia. Itulah penerbit Dian Rakyat.

Bermula di tahun 1943. Indonesia kala itu dibawah pendudukan tentara Jepang. Majalah Pujangga Baru yang telah terbit sejak Juli 1933 dilarang oleh Jepang. Pujangga Baru adalah majalah bulanan yang mengusung sejumlah pemikiran sastrawan, budayawan dan kaum intelektual Indonesia. Sebutlah seperti Arminj Pane, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan lain-lain. Kiblat pemikiran mereka adalah Barat dan nama STA berada dibarisan terdepan.

Dengan alasan ke Barat-baratan itu, Jepang lalu membekukan majalah Pujangga Baru. Tapi, STA tak menyerah. Sebagai gantinya, dia mendirikan penerbit dan percetakan Pustaka Rakyat. Disini terbit karya tulis STA, terutama tentang bahasa Indonesia. Diantaranya Tata Bahasa Baru Indonesia I dan II, Sejarah Bahasa Indonesia dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Sesudah kemerdekaan, ditahun 1962, Pustaka Rakyat berganti nama menjadi Dian Rakyat, dan nama itu bertahan hingga sekarang ini.

“ Masa itu, DR memang lebih dikenal sebagai penerbit buku-buku karya sastra. Karya-karya puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Arminj Pane termasuk yang pernah diterbitkan oleh DR, “ ujar Diana Susyanti, manager penerbitan DR. Namun, sejak era 1980-an, dia tidak hanya menerbitkan buku-buku sastra. Untuk bisa bertahan hidup, bersaing dengan penerbit-penerbit muda dan merebut pasar, katanya, mereka kemudian lebih memilih menerbitkan buku-buku Referensi Populer.

“ Yang kami maksud referensi populer bisa berupa buku refrensi dan bisa buku populer. Yang kami anggap sebagai referensi seperti buku kamus bahasa, kedokteran, hukum, agama, komputer dan lain-lain. Sedangkan buku-buku tentang hobbi, kuliner dan kerajinan bisa dimasukkan sebagai buku-buku populer, “ Diana menjelaskan. Dia telah bekerja lebih dari 10 tahun untuk penerbit ini. Kini, katanya, perusahaan membidik sasaran sebagai penerbit buku bacaan keluarga. Family’s Best Friend Publisher atau Penerbit Sahabat Keluarga Terbaik, itulah moto yang diusung DR sekarang.

Belum Bisa Online

Dahulu, DR sebetulnya telah tercitrakan sebagai penerbit buku-buku seri budaya dan sastra bermutu. Tak heran karena DR dipimpin langsung oleh STA, seorang budayawan, sastrawan dan akademisi. Namun dalam perkembangannya, setelah dipimpin oleh Mario, salah seorang putranya, citra itu telah bergeser. DR kini merebut perhatian kaum pelajar dan mahasiswa melalui buku-buku referensi. Buku-buku tentang Komputer terbitan DR amat diminati, terutama bagi para penggila komputer. Selebihnya adalah buku-buku kamus dan kedokteran.

Meski demikian, buku-buku DR sifatnya tidak membanjiri pasar. Buku terbitan DR tidak banyak bila dibandingkan dengan penerbit seperti Gramedia, Erlangga dan lain-lain. “ Konsep pemasaran kami memang bukan untuk membanjiri pasar seperti mereka. Untuk menjaga safety cash flow kami lebih memilih buku yang sifatnya longterm. Tidak apa-apa sedikit. Tapi buku yang sedikit itu hidupnya panjang dan bisa menguntungkan, “ urai Diana.

Sebagai penerbit DR memang punya sejarah tersendiri dan istimewa di negeri ini. Tak diragukan. Tapi kini, ia berada dalam persaingan bisnis, kompetisi dan promosi yang berapi-api. Beberapa penerbit kini sudah memiliki website sendiri. Sehingga buku-buku mereka, termasuk edisi terbaru, dapat diinformasikan kepada masyarakat melalui website tersebut. Bahkan masyarakat sekarang bisa membeli buku dengan sistem online. Tak kalah, Dian Rakyat juga memiliki website yang dapat dikunjungi di : http://www.dianrakyat.co.id/. Namun, sayang ketika Tapian mengunjungi situs tersebut, ternyata isinya tak pernah di up date. Itu-itu mlulu…! Capek deh..


*Tulisan ini juga dipublikasikan di majalah TAPIAN, edisi Februari 2009.

Selasa, 23 Desember 2008

Erlangga : Dari Rumah ke Dunia Maya




Membicarakan dunia buku, maka Indonesia adalah sebuah negeri penuh ironi. Pemerintah punya mimpi untuk mencerdaskan anak bangsa. Tapi, buku di Indonesia termasuk barang mahal. Di beberapa daerah, terutama sekolah-sekolah di pedesaan, buku pelajaran masih sering sulit di dapat. Dan itu masih terjadi hingga hari ini. Sebuah jurang kebodohan tercipta akibat dari kelangkaan buku. Karena itu, kehadiran penerbit semacam Erlangga menjadi sangat berarti. Mempersempit jurang kebodohan, tercitrakan dalam perjalanan penerbit ini.

Erlangga, penerbit yang banyak menaruh perhatian pada buku pelajaran sekolah. Perhatian itu sudah muncul sejak awal mulai berdirinya. Waktu itu tahun 1952. Adalah seorang guru berdarah Batak yang punya penciuman tajam. Maroelam Hutauruk namanya. Ia adalah seorang kepala sekolah SMA Negeri 1 di Semarang. Ia melihat banyak murid tidak bisa belajar dengan baik karena minimnya buku. Apalagi, buku pelajaran dalam bahasa Indonesia, yang waktu itu sangat sulit diperoleh. Untuk mengatasi kelangkaan buku tersebut, Maroelam kemudian mengajak kawan-kawannya sesama guru untuk menulis. Menulis buku pelajaran sekolah, tentunya. Tujuannya, untuk menggantikan buku-buku pelajaran berbahasa Belanda. Maka, di sebuah rumah di Semarang, mereka berhasil menulis beberapa buku. Antara lain buku pelajaran Ilmu Alam, karya Widagdo, Ilmu Kimia, karya Ir.Polling dan Ragam Bahasa Indonesia, karya Maroelam Hutauruk sendiri. Buku-buku itu semua diterbitkan dengan memakai nama Penerbit Erlangga.

Tapi, sebelum bermukim di Semarang, Maroelam lebih dulu telah mengarang buku Pelajaran Sejarah yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat, Yogya. Sebagai seorang guru dan ahli sejarah, rupanya ia sangat terkesan dengan sejarah hidup raja Erlangga. Sehingga, nama itulah kemudian dia jadikan sebagai nama penerbitan bukunya.

Pada mulanya, penerbit Erlangga bergerak dibidang pengadaan buku sekolah. Tapi, dalam perkembangannya, Erlangga kemudian merambah ke buku-buku umum. Menurut Dharma Hutauruk, dari divisi Marketing & Communication Erlangga, buku-buku terbitannya sekarang merambah juga ke buku kesehatan, makanan, kecantikan, mode,. Novel, hingga biografi. Sedangkan buku-buku bacaan untuk kebutuhan anak-anak, mereka terbitkan dibawah bendera Erlangga for Kids.

Melirik di dunia Maya

Lebih dari sepuluh tahun lalu, Erlangga membangun jaringan pemasarannya dengan memanfaatkan berbagai distributor buku. Bahkan, untuk menjangkau daerah-daerah di kabupaten, Erlangga mendirikan cabang-cabang dan perwakilan. Itulah salah satu strategi pemasaran yang dikembangkan Erlangga hingga hari ini. Erlangga kini memiliki perwakilanh di beberapa ibukota kabupaten, antara lain Tarutung, Dolok Sanggul, barus, Sorong (Papua), Tumohon (Sulawesi Utara) dan lain-lain. Tujuannya agar siswa, guru, mahasiswa dan masyarakat mudah memperoleh buku-buku Erlangga.

“ Dapat Anda bayangkan bagaimana siswa SMA di desa terpencil seperti Adiankoting di Tapanuli Utara akan belajar apabila perwakilan Erlangga tidak ada di Tarutung ? “ tanya Dharma Hutauruk seperti menepuk dada, bangga. “ Orangtua atau guru terpaksa harus membeli buku ke Medan atau minimal ke pajak Horas di Pematang Siantar. Demikian pula masyarakat Alas di kota Cane garus berangkat ke Medan seandainya Erlangga tidak ada di kota Cane. “ Menurut dia, Erlangga telah banyak membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.

Erlangga juga membentuk unit Direct Selling atau sistem penjualan langsung. Melalui sistem ini, agen freelance dapat menjual buku-buku terbitan Erlangga ke kantor-kantor maupun ke perumahan. “ Mereka tentu akan mendapat imbalan komisi yang lebih besar dibanding dengan menjadi Anggota Club Erlanggta. Para Agen ini akan diberikan pelatihan sehingga mereka mandiri dan mendapat penghasilan yang lumayan, “ papar Dharma.

Untuk memudahkan masyarakat memperoleh buku-buku Erlangga, dibentuk pula komunitas pembaca dengan nama Erlangga Book Club. Keuntungan menjadi anggota club ini, pembeli akan memperoleh potongan harga sebesar 15 persen. Erlangga juga punya outlet atau toko buku sendiri, Eureka Book House, di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, bagi masyarakat yang ingin melirik buku-buku terbaru Erlangga pun dapat mengunjunginya di dunia maya : http://www.erlangga.co.id/.

(sahala napitupulu)

* Tulisan ini juga dipublikasikan di majalah budaya TAPIAN, edisi Januari 2009.

Kamis, 18 Desember 2008

Tak Ada yang Bekas di Buku Bekas













( foto : penjual buku bekas di pasar Senen )

By Sahala Napitupulu.

Pedagang buku bekas bukan sekedar alternatif untuk para peminat buku. Mereka adalah sumber dokumentasi sejarah dan perkembangan sosial. Tengoklah koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin yang berada di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perpustakaan yang cukup lengkap dalam mendokumentasikan kesusastraan Indonesia. Siapa yang menyangka koleksi buku di rak-rak perpustakaan itu sebagian didapatkan H.B.Jassin dari berburu disejumlah pedagang buku loak, terutama dibilangan Senen-Kwitang. Tokoh nasional yang pernah duduk sebagai wakil presiden, Adam Malik, juga memperkaya khazanah perpustakaannya dengan buku-buku yang didapatkan dari toko buku loak Senen.

Para pedagang yang berasal dari Tapanuli tak sedikit yang menekuni bisnis yang satu ini. Mereka menggelar buku-bukunya dari pagi hingga malam. Di toko yang permanen atau emperan. Bidang usaha ini ternyata menjalar juga sampai ke Taman Mini Indonesia Indah. Dan, tidak hanya buku bekas, tapi juga buku langka. Yang memeloporinya adalah pedagang bermarga Siregar. Untuk keuletannya itu dia memperoleh hadiah kios dari Bu Tien.

Ada sosok lain yang menekuni bidang ini, namanya Hendra Marpaung. Sudah lima tahun dia bergumul dengan buku bekas dan langka. Semula, dia berdagang di Senen meneruskan usaha amongnya. “ Bapak saya sudah menjadi penjual buku sejak tahun 80-an, tapi sejak bapak meninggal saya yang meneruskan, “ katanya menuturkan kisahnya.

Dari keuntungan menjual buku-buku bekas ini dia dapat membantu adiknya kuliah. Jenis buku yang dia jual kebanyakan buku pelajaran dan buku umum, sehingga tidak heran pembelinya banyak dari kalangan pelajar dan mahasiswa. “ Jika musim awal pelajaran, awal kuliah, penjualan kami bisa meningkat sampai 70 persen, “ katanya. Dia berterus terang menceritakan dia juag menjual buku-buku bajakan, untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Penjualannya sehari bisa sampai Rp 100.000. Tahun ajaran baru berarti panen besar. Penjualan bisa mencapai jutaan rupiah.

Senada dengan Hendra adalah Elistra boru Simanjuntak. Sudah lima tahun dia mencari nafkah hidupnya dengan berjualan buku bekas di pasar Senen. “ Suami saya sudah terjun sebagai penjual buku bekas di pasar Senen ini sejak 90-an, “ katanya. Buku-buku yang menempati kiosnya kebanyakan buku-buku pelajaran dan buku umum. Ketika ditanya apakah dia membaca buku-buku yang dia jual, Elistra mengaku sama sekali tidak membacanya kecuali sekedar tahu judul, pengarang dan penerbit buku yang dia jual. “ Enggak ada misi hidup dalam pekerjaan ini kecuali cari nafkah, “ ucapnya sepolos kertas.

Buat peminat buku dengan kantong pas-pasan, keberadaan pedagang buku bekas amat membantu. Karena harganya yang miring. Pembelinya sendiri kadang tidak terlalu perduli apakah itu buku bekas, buku asli atau buku bajakan. Yang penting harganya murah. Robinson Tambunan paham benar tentang sikap pembeli itu. Karena itu, ia mengakui hanya mengambil keuntungan sedikit, antara 5 sampai 10 persen.

Diantara buku-buku bekas, banyak juga buku-buku baru yang digelar. Menurut penjelasan beberapa pedagang, mereka memang menerima pasokan dari beberapa penerbit untuk dipasarkan. Sifatnya bisa dibayar berjangka, sesuai dengan kesepakatan. Robinson Tambunan sendiri mengaku lebih memilih pembelian secara “putus”, sehingga tidak ada hutang-piutang.

Gaya Hidup dan Kebanggaan

Selain buku, majalah dan komik turut pula meramaikan pajangan. Rudy Saragih termasuk pedagang gado-gado seperti itu. Sekalipun bergumul bertahun-tahun dengan buku, Robinson maupun Rudy mengaku tidak banyak membaca buku, kecuali yang benar-benar menarik minat mereka.

Ada keistimewaan di Taman Mini Indonesia Indah. Dari segi akumulasi uang, maka sorga ada disini. Transaksi buku bisa mencapai jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Mahal karena buku langka.

Dikalangan pedagang ada perbedaan istilah buku tua (kuno) dengan buku langka. Kata Dolly Irwansyah Siregar, yang disebut buku kuno itu semata-mata dihitung berdasarkan tahun penerbitannya. Sedangkan yang disebut buku langka karena memang bukunya itu sudah langka di pasar.

“ Dahulu pada masa ayah saya, pernah ada orang asing menawar buku karya Georgius E.Rumphius, berjudul Amboinsch Kruidboek, terbitan tahun 1743, buku tentang rempah-rempah di Indonesia, seharga 50 juta rupiah, tapi enggak dilepas, “ katanya Dolly. Karena buku itu sangat langka. “ Buku tua itu, kalau kita tahan, tambah lama, tambah tahun, lebih tinggi lagi harganya, “ katanya senang. “ Yang sudah dilepas adalah buku Oud en Nieuwe Oost Inddnen, penulis Valentijin, terbitan tahun 1747, seharga 50 juta. Pembelinya orang Jerman. “

Dengan menempati beberapa kios di sebuah anjungan Papua, Dolly menjajakan buku-bukunya kepada para pengunjung TMII. Sama seperti Hendra Marpaung, dia menjadi penjual buku karena meneruskan usaha yang telah dirintis almarhum ayahnya. Ia mengaku senang dengan profesinya ini, karena selain keuntungannya lumayan, dia dapat menyalurkan minatnya pada sejarah.

Buku-buku kuno, buku-buku langka, yang dia jual dengan harga tinggi memang hanya untuk kalangan tertentu. Diantaranya para peneliti, atau yang akan menyusun disertasi serta kalangan perpustakaan. Selebihnya adalah para kolektor buku tua. Memiliki buku kuno atau buku langka, selain menyimpan nilai historis dan berisi ilmu pengetahuan, boleh jadi bagian dari gaya hidup dan kebanggaan tersendiri bagi para kolektor.

Buku, sebagai benda bisa saja kita sebut sebagai buku bekas, buku loak, buku kuno atau buku langka. Namun, dia adalah jendela dunia, sumber ilmu pengetahuan yang tidak mengenal istilah “bekas”.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalahTAPIAN, edisi Agustus 2008

Selasa, 16 Desember 2008

Di Tepi Jurang Kebangkrutan



By Sahala Napitupulu.

Si tua yang sarat beban. Barangkali itulah julukan yang pantas untuk Balai Pustaka. Tua dan tertatih-tatih menanggung beban di pundaknya. Gamang untuk tetap hidup, tapi segan untuk mati. Tengoklah, umurnya jauh lebih tua dari umur negara Indonesia sendiri. Balai Pustaka atau Balai Poestaka adalah sebuah perusahaan penerbitan sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Didirikan seratus tahun silam, tepatnya 14 September 1908, oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan nama Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Untuk Bacaan rakyat.

Komisi tersebut, dahulu didirikan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa daerah yang dimaksud adalah Jawa, Sunda, Melayu dan Madura.. Namun, ada juga yang menyebutkan Komisi ini didirikan untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan kaum pribumi melalui tulisan.

Konon, pada masa itu, berbagai tulisan anti-Belanda sudah mulai bermunculan di Koran-koran daerah, meski dalam skala kecil. Sehingga Komisi Untuk Bacaan Rakyat ini dipakai oleh Belanda untuk menyalurkan aspirasi penulis kaum pribumi secara elegan asal tidak bertentangan dengan kepentingan si penjajah Belanda. Tujuan lainnya, untuk menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa. Konon, supaya rakyat Indonesia terlupa dengan informasi yang berkembang di negerinya sendiri.

Tapi, ternyata tak semua kerja Komisi bikinan Belanda ini negatif. Karena, dalam perannya yang lain, pada masa itu, Komisi inilah yang merintis perpustakaan di tiap-tiap sekolah dan meminjamkan buku-bukunya secara teratur. Juga memberikan bantuan kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan Taman Bacaan. Selain itu, Komisi ini juga menerbitkan majalah untuk bacaan rakyat. Sebutlah Sari Pustaka dan Panji Pustaka, yang terbit dalam bahasa Melayu dan Jawa. Ada lagi majalah Parahiangan, terbit dalam bahasa Sunda. Yang tak kalah penting, dalam proses sejarahnya, setelah berhasil sebagai pencetak, penerbit dan penjual majalah, komisi lalu berganti nama menjadi Balai Poestaka pada 22 September tahun 1917.

Gerakan sastra.

Begitulah proses yang melahirkan Balai Pustaka, yang kemudian dikenal sebagai penerbit buku-buku sastra. Kala itu, buku-buku terbitannya menjadi penting, karena ia menjadi semacam pusat gerakan sastra untuk melawan bacaan-bacaan berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul waktu itu banyak menyoroti kehidupan nyai atau gundik-gundik Belanda. Sedangkan Balai Pustaka tampil dengan karya-karya sastra serius, seperti roman Siti Noerbaja, Dibawah Lindungan Ka’bah dan lain-lain. Dan buku-buku Balai Pustaka kala itu banyak ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Dan dalam jumlah terbatas ada pula dalam bahasa Bali, Batak dan Madura.

Sebagai sebuah “ gerakan “ sastra, para sastrawan Balai Pustaka di kemudian hari lebih dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka. Karya sastra mereka mendapat tempat terutama dikalangan kaum terpelajar dan para intelektual. Karya sastra mereka menggeser dominasi karya-karya Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama seperti pantun, gurindam dan hikayat. Berkat peranan Balai Pustaka, roman Siti Noerbaja karangan marah Rusli, Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Atheis karya Achdiat K.Mihardja, Layar Terkembang buah pena Sutan Takdir Alisyahbana menjadi begitu terkenal hingga hari ini. Juga novel-novel Pramoedya Ananta Toer, seperti Di tepi Kali Bekasi.

Karya sastra dalam bahasa Jawa pun mendapat tempat. Ini terlihat dalam jumlah buku yang diterbitkan oleh Balai Poestaka berbahasa Jawa yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan berbahasa Melayu. Tengoklah pada katalog Balai Pustaka tahun 1920. Ada hampir 200 judul buku yang diterbitkan dalam bahasa Jawa, hampir 100 judul buku berbahasa Sunda, 80 judul berbahasa Melayu dan 40 judul berbahasa Madura. Di masa itu pula lahir novel Serat Rijanto karangan raden bagus Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa Modern. Sedangkan Nur Sutan Iskandar boleh disebut pengarang paling produktif, karena banyak karya tulisnya diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Belanda kemudian kalah dalam perang melawan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap dipertahankan. Hanya namanya berganti menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, yang artinya lebih kurang Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Moliter Jepang. Dan sesudaj Indonesia merdeka, namanya dikembalikan lagi menjadi Balai Pustaka.

Tak diragukan, sepanjang sejarahnya, Balai Pustaka telah tercitrakan sebagai penerbit bermutu. Selain menerbitkan buku-buku pelajaran, yang kemudian disebarkan ke sekolah-sekolah, Balai Pustaka sangat berjasa dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Balai Pustaka menerbitkan sekitar 350 judul buku pertahunnya. Meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa-bahasa daerah, karya sastra, sosial, politik, agama, ekonomi dan lain-lain.

Karena perannya yang begitu besar dalam pencerdasan anak bangsa dan dalam menyebar luaskan bahasa Melayu sebagai cikal bahasa Indonesia, maka Balai Pustaka tetap dipertahankan hingga sekarang. Kalau bukan karena nilai historisnya itu, Balai Pustaka sudah lama dilupakan. Paling tidak, niat pemerintah untuk melikuidasinya pernah terungkap tahun 1990. Karena dia satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang berada dibawah naungan Departemen P&K yang dianggap hanya menjadi beban. Beban yang berat untuk dipikul karena banyaknya hutang yang melilit.

Pada awal 1970-an pengarang K.Usman, yang duduk sebagai staf, pernah dijebloskan ke dalam tahanan militer selama dua tahun, karena dia membongkar terjadinya korupsi besar-besaran di kantor kesayangannya itu. Pengarang asal Palembang ini diperlakukan semena-mena, tanpa proses hukum.

Direktur Utama Balai Pustaka sekarang, Dr Zaim Uchrawi, mantan wartawan majalah TEMPO dan Republika, mengutarakan sejumlah persoalan yang membelit Balai Pustaka. Katanya, sebelum dia dipercaya menjadi Direktur Utama ia telah mewarisi beban utang sekitar Rp 100 miliar. Belum termasuk hutang royalty senilai Rp 3,5 miliar pada penulis atau ahli waris dari pengarang yang karyanya dahulu diterbitkan Balai Pustaka.

Dalam kondisi terlilit hutang, jelas sulit bagi Balai Pustaka untuk bisa bergerak dan mengembangkan dirinya. Untuk menjadikan Balai Pustaka sebuah BUMN yang sehat, tentu saja sangat dibutuhkan kucuran dana dari pemerintah. Dan tak kalah penting, pemerintah harus segera mengambil tindakan : apakah Balai Pustaka akan dikembangkan atau ditutup saja atau diswastakan saja ? Karena pemerintah kelihatannya setengah hati. Balai Pustaka dibiarkan hidup sebagai BUMN, tapi nasibnya diabaikan.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya TAPIAN, edisi Desember 2008.

Senin, 15 Desember 2008

Tak Ada Tempat Pembajak di Gabe Jaya


Buku adalah pintu dunia dan sarana pencerdasan bangsa. Buku, setelah keluar dari penerbit, untuk sampai kepada masyarakat, salah satu jalur distribusinya adalah toko buku. Sehingga toko buku bisa disebut sebagai bagian yang ikut memberi kontribusi dalam mencerdaskan masyarakat. Jadi toko buku tidak semata-mata urusan bisnis adanya.

Jika Anda kebetulan lewat di prapatan Senen hingga ke jalan Kwitang, Jakarta Pusat, akan terlihat banyak penjual buku disitu, baik buku yang dijual di emperan kaki lima (dikenal sebagai penjual buku bekas) maupun ditoko-toko buku tanpa buku bekas. Diantara deretan toko buku tersebut ada sebuah toko buku milik halak hita dengan nama Gabe Jaya, persisnya berada di jalan Kramat Raya No.14 D. Pemilik toko ini adalah Pardomuan Panggabean, kelahiran Tigalingga, Sidikalang, 19 Agustus 1949. Menikah dengan Ida br.Manik pada 5 Oktober 1973 di HKBP Menteng. Untuk perkawinan itu, Tuhan mengaruniakan lima orang anak. Beberapa tahun terakhir ini, Gabe Jaya dikelola oleh putrinya nomor tiga, Marya, dengan dibantu empat orang karyawan.
GJ boleh dikatakan termasuk salah satu yang sukses dalam menjalankan bisnis jual buku. Kini, menempati gedung bertingkat tiga, GJ sehari-harinya melayani para pelanggannya mulai pukul 8 hingga pukul 19.30. Jika Anda mampir kesitu dengan mudah akan melihat penataan bukunya lumayan baik. Ada sekitar 15 ribu terdiri dari buku-buku pelajaran sekolah, buku-buku ekonomi, kedokteran, majalah, buku sastra, kamus, atlas, ensiklopedia dan lain-lain.

Dimulai Dari Emperan.
Sebelum menempati gedung yang sekarang, perjuangan Pardomuan sebagai penjual buku tidaklah mudah. Ia sudah memulai usaha ini sejak 1976. Pada mulanya ia menjual buku di kaki lima di prapatan Senen, terdiri dari buku-buku bekas. " Dari situ saya merintis. Mula-mula yang saya jual berupa buku pelajaran anak sekolah. Saya jualan buku sekedar cari makan saja untuk menghidupi keluarga, " ujarnya.
Berkali-kali ia terpaksa pindah tempat karena ada pembuatan jalan layang Senen. Tidak hanya itu. Para penjual buku bekas pun ternyata dari sehari ke sehari semakin bertambah sebagai saingannya. Namun, Pardomuan tidak patah semangat dan tetap tekun. " Karena saya lihat prospeknya bagus, maka usaha ini terus saya perjuangkan, " katanya lagi.
Berbekal ketekunannya itu, usahanya lambat laun semakin meningkat. Beberapa penerbit buku pun mulai mempercayainya. Kini beberapa penerbit dari Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya sudah merupakan mitra GJ dalam memasarkan buku-buku terbitan mereka ke masyarakat. Ketika ditanya apakah hal yang paling membanggakannya, Pardomuan menyebut anak-anaknya semua bisa dia sekolahkan. Bahkan sampai sarjana, semata dari hasil penjualan buku. Kebanggaannya yang lain adalah manakala diantara pelanggannya datang mencari buku-buku tertentu, dan ia memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga mereka tidak kecewa.

Menolak Buku Bajakan.
Sejak 10 tahun silam, akibat terkena stroke, Pardomuan praktis tidak lagi mampu menjalankan usahanya. Ia harus menjalani perobatan intensif. Keluarga sepakat Marya lah orang yang paling tepat. Pilihan mereka tidak keliru. Ditangan Marya, roda perusahaan tetap berjalan dengan baik. Bahkan dari tahun ke tahun terlihat adanya peningkatan. Omzet penjualan buku mereka sehari bisa jutaan rupiah.
Ada yang menarik dari wanita cantik kelahiran Jakarta, 26 Agustus 1977 ini. Dalam mengelola usaha, dia tidak semata-mata profit oriented. Ada idealismenya. Marya tak pernah mengizinkan GJ menjual buku-buku bajakan. Beberapa pembajak buku, yang pernah mencoba mendekatinya, pulang dengan kecewa. " Berapa pun keuntungan yang mereka kasi, saya tak akan sudi menjual buku-buku bajakan mereka, " katanya tegas. Ia tahu GJ memerlukan citra yang baik. Hubungan baiknya dengan rekanan penerbit resmi tentu akan rusak jika ia sempat menjual buku-buku bajakan.

Ditanya tentang bagaimana ia membangun citra yang baik diantara para konsumen yang datang ke tokonya, Marya menjawab : " Berikan service yang baik. Bantu mereka menemukan buku apa yang mereka cari. Dan, bila buku yang telah dibeli konsumen ada yang rusak, atau hilang sebagian halaman dalamnya akibat cacat produksi, maka saya bersedia menukarkannya dengan yang baru, " katanya menjelaskan. Dengan usaha seperti ini, katanya, GJ ikut mengambil bagian dalam pemberdayaan sosial dan pencerdasan anak bangsa.
(sahala napitupulu)

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi September 2008.