googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: Maret 2009

Senin, 02 Maret 2009

Semoga Jayalah, Pustaka Jaya...



By Sahala Napitupulu.

Menyebut nama Pustaka Jaya, sekurang-kurangnya kita pasti akan teringat dua hal. Pertama, dia adalah penerbit buku sastra bermutu. Kedua, nama sastrawan Ajip Rosidi, 71 tahun, yang dikenal sebagai sosok sastrawan yang produktif. Dia menulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi sumbangannya pada sastra Sunda fenomenal. Pada usia belum 15 tahun dia sudah menerbitkan sebuah novel. Ketika teman-teman sebayanya masih duduk di sekolah menengah pertama, dia menjadi pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar. Umur 17, Ajip adalah salah seorang redaktur Balai Pustaka. Dia menulis lebih dari 50 judul buku dalam Bahasa Indonesia maupun Sunda.
Sebelum lahirnya Pustaka Jaya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari dan Tjupumanik di Jatiwangi. Setelah Pustaka Jaya lahir, dia mendirikan penerbit Girimukti Pusaka dan Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai sekarang, seperti Pustaka Jaya, namun ada juga yang telah lama berhenti.
Sebagaimana yang diuraikan Ajip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan,” lahirnya Pustaka Jaya bukanlah hasil dari suatu seminar atau pertemuan para sastrawan. Ia berawal dari sebuah percakapan ringan di awal 1970-an antara dirinya dengan Ali Sadikin yang menjabat guberniur Jakarta waktu itu. Di antara perbincangan yang berlangsung di rumah sang Gubernur, tercatat kegelisahan seperti ini:
“Mengapa anak-anak sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik,” tanya Ali Sadikin mengungkapkan keprihatinannya.
“Untunglah mereka masih membaca. Bahwa mereka membaca komik karena hanya itulah yang ada. Buku tidak ada. Para penerbit kita tidak menerbitkan buku untuk bacaan anak-anak, untuk orangtua juga tidak banyak,” jawab Ajip Rosidi.
“Mengapa?” tanya sang Gubernur lagi. Ajip lalu menjelaskan situasi penerbitan dan perbukuan sesuai dengan pengalaman dan pengamatannya.
“Kebanyakan penerbit, terutama mendahulukan mencari keuntungan, sehingga menerbitkan buku itu hanya yang nyata-nyata dicari oleh masyarakat. Penerbit buku bacaan yang baik, seperti dahulu Balai Pustaka tidak ada lagi. Dahulu pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi untuk Balai Pustaka, tapi pemerintah kita tidak. Bahkan Balai Pustaka pernah diberhentikan fungsinya sebagai penerbit. Hanya dijadikan percetakan saja,” urai Ajip kepada sang Gubernur.
Siapa menyangka percakapan ringan itu berbuah kesepakatan untuk mendirikan satu penerbit yang menyediakan buku bacaan yang baik buat anak-anak dan orangtua. Gubernur bersedia menyediakan pinjaman modal untuk keperluan itu, yang akan dikembalikan kalau penerbit tersebut sudah mampu berdiri sendiri. Pinjaman modal diberikan melalui Yayasan Jaya Raya yang diketuai oleh Ir Ciputra, sebesar Rp 20 juta. Mei 1971, penerbit itu pun resmi berdiri. Ajip Rosidi memberinya nama Pustaka Jaya, sedangkan Ciputra pada mulanya menginginkan nama Jaya Pustaka. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1976, Pustaka Jaya tidak lagi di bawah naungan Yayasan Jaya Raya, tetapi telah berdiri sendiri di bawah bendera PT Dunia Pustaka Jaya.

Kawan lama Ajip
Pada mulanya, kantor Pustaka Jaya masih menumpang di kompleks Taman Ismail Marzuki. Setelah keuangan perusahaan cukup sehat, Pustaka Jaya mampu membeli gedung untuk kantor sendiri di Jalan Kramat II no. 31A dan di Kramat Raya no.5K, Jakarta. Namun, apa daya, di era 1990-an, Pustaka Jaya mengalami krisis keuangan, sehingga satu dari dua gedung itu harus dijual untuk menutupi utang-utangnya. Kini, kantor satu-satunya terletak di Kramat Raya no.5K, yang juga berfungsi sebagai gudang.
Seri buku karya sastra dan budaya merupakan produk Pustaka Jaya. Ia mengutamakan karya sastera lama dan baru, baik dari pengarang Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari karya klasik dunia. Ketika jumlah judul buku yang diproduksi sudah cukup banyak, muncul masalah bagaimana mamasarkannya. Untuk membantu promosi buku-buku Pustaka Jaya, Gubernur Ali Sadikin waktu itu sempat mengadakan konferensi pers di Balaikota. “Buku-buku (Pustaka Jaya) ini bagus. Harus dijual bebas kepada masyarakat,” katanya kepada para wartawan. Kata-kata sang Gubernur ternyata kurang memikat publik, dan penjualan buku-buku Pustaka Jaya berjalan dengan seret.
Ajip bercerita, sesudah konferensi pers tersebut, dia lalu mencoba menawarkan buku-bukunya ke semua sekolah dasar ada di wilayah DKI Jakarta. Waktu itu di Jakarta terdapat kurang lebih 1.000 sekolah dasar. Hasilnya betul-betul menyedihkan. Yang menyambut penawaran itu hanya satu sekolah. Itu pun karena kepala sekolahnya kawan lama Ajip di Jatiwangi. Kenyataan itu menunjukkan betapa kecilnya perhatian para kepala sekolah dasar di Jakarta terhadap buku bacaan sastra. Perhatian mereka pada perpustakaan juga memprihatinkan.
Berdasarkan kenyataan pahit itu, Ajip berpendapat bahwa yang pertama-tama harus dia jual bukanlah produk buku, melainkan gagasan. Gagasan agar para guru dan orangtua mendidik anak-anaknya supaya suka membaca. Soalnya, bagaimana meningkatkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak sejak usia dini. Ajip sering berkeliling ke sekolah-sekolah dasar maupun menengah di Ibu Kota maupun di luar Jakarta. Dia berkeliling untuk memberikan ceramah-ceramah tentang pentingnya siswa banyak membaca dan pentingnya sekolah memiliki perpustakaan.
Jerih-payah Ajip tidak percuma. Lambat laun, buku-buku Pustaka Jaya mulai mendapat sambutan. Itu terlihat dari resensi-resensi buku dan berita tentang Pustaka Jaya yang dimuat di surat-surat kabar. Masyarakat mulai haus akan buku-buku bermutu.
Tidak hanya itu. Sambutan masyarakat terhadap buku-buku Pustaka Jaya ternyata ikut membangkitkan semangat di kalangan penerbit lain. Penerbit-penerbit terkemuka, seperti Djambatan, Gunung Agung dan lainnya, yang tadinya terseok-seok jadi optimis setelah melihat sukses Pustaka Jaya. Lihatlah, dalam katalog daftar buku tahun 1984, tercatat Pustaka Jaya waktu itu telah menerbitkan lebih dari 600 judul buku dengan lebih dari 10 juta eksemplar. Itu artinya, hampir setiap minggu ada buku baru yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Dan dari jumlah 10 juta eksemplar itu, lebih dari sembilan juta terserap oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum.
Buku-buku Pustaka Jaya sering menjadi rujukan. Para pengarang pastilah sangat bangga bila karya-karya mereka diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Namun, kejayaan penerbit ini tak bertahan lama, tak semantap nama Ajip Rosidi dalam sastra dan budaya. Kekeliruan kebijakan dan salah urus di era 1990-an membawanya ke tepi jurang. Kini, tak banyak lagi buku edisi baru yang bisa dia terbitkan, kecuali hanya beberapa judul dalam setahun. Kerjanya hanya mencetak ulang buku-buku lama.
Jika penerbit lain telah memiliki website dan memanfaatkan media online untuk memasarkan buku-buku mereka, tidak demikian halanya Pustaka Jaya. Menurut manajernya, Ahmad Rivai, dunia maya atau website baru berupa angan-angan, belum merupakan prioritas. Ia menyebut krisis keuangan yang dialami Pustaka Jaya dahulu cukup parah. “Ibaratnya, sakit yang kami alami telah memasuki stadium dua. Sehingga sampai sekarang Pustaka Jaya masih dalam tahap pemulihan supaya bisa kembali menjadi perusahaan yang sehat,” kata Rivai. Semoga Pustaka Jaya bisa mengembalikan kejayaannya.
* Tulisan ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi Maret 2009.