googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: 2008

Selasa, 23 Desember 2008

Erlangga : Dari Rumah ke Dunia Maya




Membicarakan dunia buku, maka Indonesia adalah sebuah negeri penuh ironi. Pemerintah punya mimpi untuk mencerdaskan anak bangsa. Tapi, buku di Indonesia termasuk barang mahal. Di beberapa daerah, terutama sekolah-sekolah di pedesaan, buku pelajaran masih sering sulit di dapat. Dan itu masih terjadi hingga hari ini. Sebuah jurang kebodohan tercipta akibat dari kelangkaan buku. Karena itu, kehadiran penerbit semacam Erlangga menjadi sangat berarti. Mempersempit jurang kebodohan, tercitrakan dalam perjalanan penerbit ini.

Erlangga, penerbit yang banyak menaruh perhatian pada buku pelajaran sekolah. Perhatian itu sudah muncul sejak awal mulai berdirinya. Waktu itu tahun 1952. Adalah seorang guru berdarah Batak yang punya penciuman tajam. Maroelam Hutauruk namanya. Ia adalah seorang kepala sekolah SMA Negeri 1 di Semarang. Ia melihat banyak murid tidak bisa belajar dengan baik karena minimnya buku. Apalagi, buku pelajaran dalam bahasa Indonesia, yang waktu itu sangat sulit diperoleh. Untuk mengatasi kelangkaan buku tersebut, Maroelam kemudian mengajak kawan-kawannya sesama guru untuk menulis. Menulis buku pelajaran sekolah, tentunya. Tujuannya, untuk menggantikan buku-buku pelajaran berbahasa Belanda. Maka, di sebuah rumah di Semarang, mereka berhasil menulis beberapa buku. Antara lain buku pelajaran Ilmu Alam, karya Widagdo, Ilmu Kimia, karya Ir.Polling dan Ragam Bahasa Indonesia, karya Maroelam Hutauruk sendiri. Buku-buku itu semua diterbitkan dengan memakai nama Penerbit Erlangga.

Tapi, sebelum bermukim di Semarang, Maroelam lebih dulu telah mengarang buku Pelajaran Sejarah yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat, Yogya. Sebagai seorang guru dan ahli sejarah, rupanya ia sangat terkesan dengan sejarah hidup raja Erlangga. Sehingga, nama itulah kemudian dia jadikan sebagai nama penerbitan bukunya.

Pada mulanya, penerbit Erlangga bergerak dibidang pengadaan buku sekolah. Tapi, dalam perkembangannya, Erlangga kemudian merambah ke buku-buku umum. Menurut Dharma Hutauruk, dari divisi Marketing & Communication Erlangga, buku-buku terbitannya sekarang merambah juga ke buku kesehatan, makanan, kecantikan, mode,. Novel, hingga biografi. Sedangkan buku-buku bacaan untuk kebutuhan anak-anak, mereka terbitkan dibawah bendera Erlangga for Kids.

Melirik di dunia Maya

Lebih dari sepuluh tahun lalu, Erlangga membangun jaringan pemasarannya dengan memanfaatkan berbagai distributor buku. Bahkan, untuk menjangkau daerah-daerah di kabupaten, Erlangga mendirikan cabang-cabang dan perwakilan. Itulah salah satu strategi pemasaran yang dikembangkan Erlangga hingga hari ini. Erlangga kini memiliki perwakilanh di beberapa ibukota kabupaten, antara lain Tarutung, Dolok Sanggul, barus, Sorong (Papua), Tumohon (Sulawesi Utara) dan lain-lain. Tujuannya agar siswa, guru, mahasiswa dan masyarakat mudah memperoleh buku-buku Erlangga.

“ Dapat Anda bayangkan bagaimana siswa SMA di desa terpencil seperti Adiankoting di Tapanuli Utara akan belajar apabila perwakilan Erlangga tidak ada di Tarutung ? “ tanya Dharma Hutauruk seperti menepuk dada, bangga. “ Orangtua atau guru terpaksa harus membeli buku ke Medan atau minimal ke pajak Horas di Pematang Siantar. Demikian pula masyarakat Alas di kota Cane garus berangkat ke Medan seandainya Erlangga tidak ada di kota Cane. “ Menurut dia, Erlangga telah banyak membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan anak bangsa.

Erlangga juga membentuk unit Direct Selling atau sistem penjualan langsung. Melalui sistem ini, agen freelance dapat menjual buku-buku terbitan Erlangga ke kantor-kantor maupun ke perumahan. “ Mereka tentu akan mendapat imbalan komisi yang lebih besar dibanding dengan menjadi Anggota Club Erlanggta. Para Agen ini akan diberikan pelatihan sehingga mereka mandiri dan mendapat penghasilan yang lumayan, “ papar Dharma.

Untuk memudahkan masyarakat memperoleh buku-buku Erlangga, dibentuk pula komunitas pembaca dengan nama Erlangga Book Club. Keuntungan menjadi anggota club ini, pembeli akan memperoleh potongan harga sebesar 15 persen. Erlangga juga punya outlet atau toko buku sendiri, Eureka Book House, di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, bagi masyarakat yang ingin melirik buku-buku terbaru Erlangga pun dapat mengunjunginya di dunia maya : http://www.erlangga.co.id/.

(sahala napitupulu)

* Tulisan ini juga dipublikasikan di majalah budaya TAPIAN, edisi Januari 2009.

Kamis, 18 Desember 2008

Tak Ada yang Bekas di Buku Bekas













( foto : penjual buku bekas di pasar Senen )

By Sahala Napitupulu.

Pedagang buku bekas bukan sekedar alternatif untuk para peminat buku. Mereka adalah sumber dokumentasi sejarah dan perkembangan sosial. Tengoklah koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin yang berada di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perpustakaan yang cukup lengkap dalam mendokumentasikan kesusastraan Indonesia. Siapa yang menyangka koleksi buku di rak-rak perpustakaan itu sebagian didapatkan H.B.Jassin dari berburu disejumlah pedagang buku loak, terutama dibilangan Senen-Kwitang. Tokoh nasional yang pernah duduk sebagai wakil presiden, Adam Malik, juga memperkaya khazanah perpustakaannya dengan buku-buku yang didapatkan dari toko buku loak Senen.

Para pedagang yang berasal dari Tapanuli tak sedikit yang menekuni bisnis yang satu ini. Mereka menggelar buku-bukunya dari pagi hingga malam. Di toko yang permanen atau emperan. Bidang usaha ini ternyata menjalar juga sampai ke Taman Mini Indonesia Indah. Dan, tidak hanya buku bekas, tapi juga buku langka. Yang memeloporinya adalah pedagang bermarga Siregar. Untuk keuletannya itu dia memperoleh hadiah kios dari Bu Tien.

Ada sosok lain yang menekuni bidang ini, namanya Hendra Marpaung. Sudah lima tahun dia bergumul dengan buku bekas dan langka. Semula, dia berdagang di Senen meneruskan usaha amongnya. “ Bapak saya sudah menjadi penjual buku sejak tahun 80-an, tapi sejak bapak meninggal saya yang meneruskan, “ katanya menuturkan kisahnya.

Dari keuntungan menjual buku-buku bekas ini dia dapat membantu adiknya kuliah. Jenis buku yang dia jual kebanyakan buku pelajaran dan buku umum, sehingga tidak heran pembelinya banyak dari kalangan pelajar dan mahasiswa. “ Jika musim awal pelajaran, awal kuliah, penjualan kami bisa meningkat sampai 70 persen, “ katanya. Dia berterus terang menceritakan dia juag menjual buku-buku bajakan, untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Penjualannya sehari bisa sampai Rp 100.000. Tahun ajaran baru berarti panen besar. Penjualan bisa mencapai jutaan rupiah.

Senada dengan Hendra adalah Elistra boru Simanjuntak. Sudah lima tahun dia mencari nafkah hidupnya dengan berjualan buku bekas di pasar Senen. “ Suami saya sudah terjun sebagai penjual buku bekas di pasar Senen ini sejak 90-an, “ katanya. Buku-buku yang menempati kiosnya kebanyakan buku-buku pelajaran dan buku umum. Ketika ditanya apakah dia membaca buku-buku yang dia jual, Elistra mengaku sama sekali tidak membacanya kecuali sekedar tahu judul, pengarang dan penerbit buku yang dia jual. “ Enggak ada misi hidup dalam pekerjaan ini kecuali cari nafkah, “ ucapnya sepolos kertas.

Buat peminat buku dengan kantong pas-pasan, keberadaan pedagang buku bekas amat membantu. Karena harganya yang miring. Pembelinya sendiri kadang tidak terlalu perduli apakah itu buku bekas, buku asli atau buku bajakan. Yang penting harganya murah. Robinson Tambunan paham benar tentang sikap pembeli itu. Karena itu, ia mengakui hanya mengambil keuntungan sedikit, antara 5 sampai 10 persen.

Diantara buku-buku bekas, banyak juga buku-buku baru yang digelar. Menurut penjelasan beberapa pedagang, mereka memang menerima pasokan dari beberapa penerbit untuk dipasarkan. Sifatnya bisa dibayar berjangka, sesuai dengan kesepakatan. Robinson Tambunan sendiri mengaku lebih memilih pembelian secara “putus”, sehingga tidak ada hutang-piutang.

Gaya Hidup dan Kebanggaan

Selain buku, majalah dan komik turut pula meramaikan pajangan. Rudy Saragih termasuk pedagang gado-gado seperti itu. Sekalipun bergumul bertahun-tahun dengan buku, Robinson maupun Rudy mengaku tidak banyak membaca buku, kecuali yang benar-benar menarik minat mereka.

Ada keistimewaan di Taman Mini Indonesia Indah. Dari segi akumulasi uang, maka sorga ada disini. Transaksi buku bisa mencapai jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Mahal karena buku langka.

Dikalangan pedagang ada perbedaan istilah buku tua (kuno) dengan buku langka. Kata Dolly Irwansyah Siregar, yang disebut buku kuno itu semata-mata dihitung berdasarkan tahun penerbitannya. Sedangkan yang disebut buku langka karena memang bukunya itu sudah langka di pasar.

“ Dahulu pada masa ayah saya, pernah ada orang asing menawar buku karya Georgius E.Rumphius, berjudul Amboinsch Kruidboek, terbitan tahun 1743, buku tentang rempah-rempah di Indonesia, seharga 50 juta rupiah, tapi enggak dilepas, “ katanya Dolly. Karena buku itu sangat langka. “ Buku tua itu, kalau kita tahan, tambah lama, tambah tahun, lebih tinggi lagi harganya, “ katanya senang. “ Yang sudah dilepas adalah buku Oud en Nieuwe Oost Inddnen, penulis Valentijin, terbitan tahun 1747, seharga 50 juta. Pembelinya orang Jerman. “

Dengan menempati beberapa kios di sebuah anjungan Papua, Dolly menjajakan buku-bukunya kepada para pengunjung TMII. Sama seperti Hendra Marpaung, dia menjadi penjual buku karena meneruskan usaha yang telah dirintis almarhum ayahnya. Ia mengaku senang dengan profesinya ini, karena selain keuntungannya lumayan, dia dapat menyalurkan minatnya pada sejarah.

Buku-buku kuno, buku-buku langka, yang dia jual dengan harga tinggi memang hanya untuk kalangan tertentu. Diantaranya para peneliti, atau yang akan menyusun disertasi serta kalangan perpustakaan. Selebihnya adalah para kolektor buku tua. Memiliki buku kuno atau buku langka, selain menyimpan nilai historis dan berisi ilmu pengetahuan, boleh jadi bagian dari gaya hidup dan kebanggaan tersendiri bagi para kolektor.

Buku, sebagai benda bisa saja kita sebut sebagai buku bekas, buku loak, buku kuno atau buku langka. Namun, dia adalah jendela dunia, sumber ilmu pengetahuan yang tidak mengenal istilah “bekas”.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalahTAPIAN, edisi Agustus 2008

Selasa, 16 Desember 2008

Di Tepi Jurang Kebangkrutan



By Sahala Napitupulu.

Si tua yang sarat beban. Barangkali itulah julukan yang pantas untuk Balai Pustaka. Tua dan tertatih-tatih menanggung beban di pundaknya. Gamang untuk tetap hidup, tapi segan untuk mati. Tengoklah, umurnya jauh lebih tua dari umur negara Indonesia sendiri. Balai Pustaka atau Balai Poestaka adalah sebuah perusahaan penerbitan sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Didirikan seratus tahun silam, tepatnya 14 September 1908, oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan nama Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Untuk Bacaan rakyat.

Komisi tersebut, dahulu didirikan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa daerah yang dimaksud adalah Jawa, Sunda, Melayu dan Madura.. Namun, ada juga yang menyebutkan Komisi ini didirikan untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan kaum pribumi melalui tulisan.

Konon, pada masa itu, berbagai tulisan anti-Belanda sudah mulai bermunculan di Koran-koran daerah, meski dalam skala kecil. Sehingga Komisi Untuk Bacaan Rakyat ini dipakai oleh Belanda untuk menyalurkan aspirasi penulis kaum pribumi secara elegan asal tidak bertentangan dengan kepentingan si penjajah Belanda. Tujuan lainnya, untuk menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa. Konon, supaya rakyat Indonesia terlupa dengan informasi yang berkembang di negerinya sendiri.

Tapi, ternyata tak semua kerja Komisi bikinan Belanda ini negatif. Karena, dalam perannya yang lain, pada masa itu, Komisi inilah yang merintis perpustakaan di tiap-tiap sekolah dan meminjamkan buku-bukunya secara teratur. Juga memberikan bantuan kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan Taman Bacaan. Selain itu, Komisi ini juga menerbitkan majalah untuk bacaan rakyat. Sebutlah Sari Pustaka dan Panji Pustaka, yang terbit dalam bahasa Melayu dan Jawa. Ada lagi majalah Parahiangan, terbit dalam bahasa Sunda. Yang tak kalah penting, dalam proses sejarahnya, setelah berhasil sebagai pencetak, penerbit dan penjual majalah, komisi lalu berganti nama menjadi Balai Poestaka pada 22 September tahun 1917.

Gerakan sastra.

Begitulah proses yang melahirkan Balai Pustaka, yang kemudian dikenal sebagai penerbit buku-buku sastra. Kala itu, buku-buku terbitannya menjadi penting, karena ia menjadi semacam pusat gerakan sastra untuk melawan bacaan-bacaan berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul waktu itu banyak menyoroti kehidupan nyai atau gundik-gundik Belanda. Sedangkan Balai Pustaka tampil dengan karya-karya sastra serius, seperti roman Siti Noerbaja, Dibawah Lindungan Ka’bah dan lain-lain. Dan buku-buku Balai Pustaka kala itu banyak ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Dan dalam jumlah terbatas ada pula dalam bahasa Bali, Batak dan Madura.

Sebagai sebuah “ gerakan “ sastra, para sastrawan Balai Pustaka di kemudian hari lebih dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka. Karya sastra mereka mendapat tempat terutama dikalangan kaum terpelajar dan para intelektual. Karya sastra mereka menggeser dominasi karya-karya Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama seperti pantun, gurindam dan hikayat. Berkat peranan Balai Pustaka, roman Siti Noerbaja karangan marah Rusli, Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Atheis karya Achdiat K.Mihardja, Layar Terkembang buah pena Sutan Takdir Alisyahbana menjadi begitu terkenal hingga hari ini. Juga novel-novel Pramoedya Ananta Toer, seperti Di tepi Kali Bekasi.

Karya sastra dalam bahasa Jawa pun mendapat tempat. Ini terlihat dalam jumlah buku yang diterbitkan oleh Balai Poestaka berbahasa Jawa yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan berbahasa Melayu. Tengoklah pada katalog Balai Pustaka tahun 1920. Ada hampir 200 judul buku yang diterbitkan dalam bahasa Jawa, hampir 100 judul buku berbahasa Sunda, 80 judul berbahasa Melayu dan 40 judul berbahasa Madura. Di masa itu pula lahir novel Serat Rijanto karangan raden bagus Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa Modern. Sedangkan Nur Sutan Iskandar boleh disebut pengarang paling produktif, karena banyak karya tulisnya diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Belanda kemudian kalah dalam perang melawan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap dipertahankan. Hanya namanya berganti menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, yang artinya lebih kurang Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Moliter Jepang. Dan sesudaj Indonesia merdeka, namanya dikembalikan lagi menjadi Balai Pustaka.

Tak diragukan, sepanjang sejarahnya, Balai Pustaka telah tercitrakan sebagai penerbit bermutu. Selain menerbitkan buku-buku pelajaran, yang kemudian disebarkan ke sekolah-sekolah, Balai Pustaka sangat berjasa dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Balai Pustaka menerbitkan sekitar 350 judul buku pertahunnya. Meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa-bahasa daerah, karya sastra, sosial, politik, agama, ekonomi dan lain-lain.

Karena perannya yang begitu besar dalam pencerdasan anak bangsa dan dalam menyebar luaskan bahasa Melayu sebagai cikal bahasa Indonesia, maka Balai Pustaka tetap dipertahankan hingga sekarang. Kalau bukan karena nilai historisnya itu, Balai Pustaka sudah lama dilupakan. Paling tidak, niat pemerintah untuk melikuidasinya pernah terungkap tahun 1990. Karena dia satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang berada dibawah naungan Departemen P&K yang dianggap hanya menjadi beban. Beban yang berat untuk dipikul karena banyaknya hutang yang melilit.

Pada awal 1970-an pengarang K.Usman, yang duduk sebagai staf, pernah dijebloskan ke dalam tahanan militer selama dua tahun, karena dia membongkar terjadinya korupsi besar-besaran di kantor kesayangannya itu. Pengarang asal Palembang ini diperlakukan semena-mena, tanpa proses hukum.

Direktur Utama Balai Pustaka sekarang, Dr Zaim Uchrawi, mantan wartawan majalah TEMPO dan Republika, mengutarakan sejumlah persoalan yang membelit Balai Pustaka. Katanya, sebelum dia dipercaya menjadi Direktur Utama ia telah mewarisi beban utang sekitar Rp 100 miliar. Belum termasuk hutang royalty senilai Rp 3,5 miliar pada penulis atau ahli waris dari pengarang yang karyanya dahulu diterbitkan Balai Pustaka.

Dalam kondisi terlilit hutang, jelas sulit bagi Balai Pustaka untuk bisa bergerak dan mengembangkan dirinya. Untuk menjadikan Balai Pustaka sebuah BUMN yang sehat, tentu saja sangat dibutuhkan kucuran dana dari pemerintah. Dan tak kalah penting, pemerintah harus segera mengambil tindakan : apakah Balai Pustaka akan dikembangkan atau ditutup saja atau diswastakan saja ? Karena pemerintah kelihatannya setengah hati. Balai Pustaka dibiarkan hidup sebagai BUMN, tapi nasibnya diabaikan.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya TAPIAN, edisi Desember 2008.

Senin, 15 Desember 2008

Tak Ada Tempat Pembajak di Gabe Jaya


Buku adalah pintu dunia dan sarana pencerdasan bangsa. Buku, setelah keluar dari penerbit, untuk sampai kepada masyarakat, salah satu jalur distribusinya adalah toko buku. Sehingga toko buku bisa disebut sebagai bagian yang ikut memberi kontribusi dalam mencerdaskan masyarakat. Jadi toko buku tidak semata-mata urusan bisnis adanya.

Jika Anda kebetulan lewat di prapatan Senen hingga ke jalan Kwitang, Jakarta Pusat, akan terlihat banyak penjual buku disitu, baik buku yang dijual di emperan kaki lima (dikenal sebagai penjual buku bekas) maupun ditoko-toko buku tanpa buku bekas. Diantara deretan toko buku tersebut ada sebuah toko buku milik halak hita dengan nama Gabe Jaya, persisnya berada di jalan Kramat Raya No.14 D. Pemilik toko ini adalah Pardomuan Panggabean, kelahiran Tigalingga, Sidikalang, 19 Agustus 1949. Menikah dengan Ida br.Manik pada 5 Oktober 1973 di HKBP Menteng. Untuk perkawinan itu, Tuhan mengaruniakan lima orang anak. Beberapa tahun terakhir ini, Gabe Jaya dikelola oleh putrinya nomor tiga, Marya, dengan dibantu empat orang karyawan.
GJ boleh dikatakan termasuk salah satu yang sukses dalam menjalankan bisnis jual buku. Kini, menempati gedung bertingkat tiga, GJ sehari-harinya melayani para pelanggannya mulai pukul 8 hingga pukul 19.30. Jika Anda mampir kesitu dengan mudah akan melihat penataan bukunya lumayan baik. Ada sekitar 15 ribu terdiri dari buku-buku pelajaran sekolah, buku-buku ekonomi, kedokteran, majalah, buku sastra, kamus, atlas, ensiklopedia dan lain-lain.

Dimulai Dari Emperan.
Sebelum menempati gedung yang sekarang, perjuangan Pardomuan sebagai penjual buku tidaklah mudah. Ia sudah memulai usaha ini sejak 1976. Pada mulanya ia menjual buku di kaki lima di prapatan Senen, terdiri dari buku-buku bekas. " Dari situ saya merintis. Mula-mula yang saya jual berupa buku pelajaran anak sekolah. Saya jualan buku sekedar cari makan saja untuk menghidupi keluarga, " ujarnya.
Berkali-kali ia terpaksa pindah tempat karena ada pembuatan jalan layang Senen. Tidak hanya itu. Para penjual buku bekas pun ternyata dari sehari ke sehari semakin bertambah sebagai saingannya. Namun, Pardomuan tidak patah semangat dan tetap tekun. " Karena saya lihat prospeknya bagus, maka usaha ini terus saya perjuangkan, " katanya lagi.
Berbekal ketekunannya itu, usahanya lambat laun semakin meningkat. Beberapa penerbit buku pun mulai mempercayainya. Kini beberapa penerbit dari Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya sudah merupakan mitra GJ dalam memasarkan buku-buku terbitan mereka ke masyarakat. Ketika ditanya apakah hal yang paling membanggakannya, Pardomuan menyebut anak-anaknya semua bisa dia sekolahkan. Bahkan sampai sarjana, semata dari hasil penjualan buku. Kebanggaannya yang lain adalah manakala diantara pelanggannya datang mencari buku-buku tertentu, dan ia memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga mereka tidak kecewa.

Menolak Buku Bajakan.
Sejak 10 tahun silam, akibat terkena stroke, Pardomuan praktis tidak lagi mampu menjalankan usahanya. Ia harus menjalani perobatan intensif. Keluarga sepakat Marya lah orang yang paling tepat. Pilihan mereka tidak keliru. Ditangan Marya, roda perusahaan tetap berjalan dengan baik. Bahkan dari tahun ke tahun terlihat adanya peningkatan. Omzet penjualan buku mereka sehari bisa jutaan rupiah.
Ada yang menarik dari wanita cantik kelahiran Jakarta, 26 Agustus 1977 ini. Dalam mengelola usaha, dia tidak semata-mata profit oriented. Ada idealismenya. Marya tak pernah mengizinkan GJ menjual buku-buku bajakan. Beberapa pembajak buku, yang pernah mencoba mendekatinya, pulang dengan kecewa. " Berapa pun keuntungan yang mereka kasi, saya tak akan sudi menjual buku-buku bajakan mereka, " katanya tegas. Ia tahu GJ memerlukan citra yang baik. Hubungan baiknya dengan rekanan penerbit resmi tentu akan rusak jika ia sempat menjual buku-buku bajakan.

Ditanya tentang bagaimana ia membangun citra yang baik diantara para konsumen yang datang ke tokonya, Marya menjawab : " Berikan service yang baik. Bantu mereka menemukan buku apa yang mereka cari. Dan, bila buku yang telah dibeli konsumen ada yang rusak, atau hilang sebagian halaman dalamnya akibat cacat produksi, maka saya bersedia menukarkannya dengan yang baru, " katanya menjelaskan. Dengan usaha seperti ini, katanya, GJ ikut mengambil bagian dalam pemberdayaan sosial dan pencerdasan anak bangsa.
(sahala napitupulu)

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah TAPIAN, edisi September 2008.

Riris K.Toha Sarumpaet, Hatinya Untuk Anak Indonesia






By Sahala Napitupulu.

Dia mendedikasikan hidupnya untuk membangun masa depan anak-anak Indonesia. Dia sadar, masa kanak-kanak adalah saat paling penting untuk menciptakan masa depan Indonesia. Masa depan yang berkualitas tentunya. Karenanya, untuk sampai pada tujuan tersebut anak-anak perlu dididik banyak membaca. Tapi bukan sembarang bacaan, melainkan bacaan-bacaan bermutu. Itulah perhatian besar Prof. Riris K.Toha Sarumpaet, Guru Besar Universitas Indonesia, penulis buku, drama, cerita pendek, serta pembicara seminar dunia pendidikan.


Riris tak hanya pakar dalam bidangnya. Suaranya enak didengar. Ada kesadaran dramatik dalam cara bicaranya, yaitu dengan memainkan tempo dan tinggi rendahnya nada dalam berbicara. Hasilnya akan memikat siapapun yang mendengar. Dalam wawancara yang berlangsung dirumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dia berbicara banyak hal tentang dunia anak. Terutama pustaka kelana yang dia kelola bersama teman-temannya.


“ Saya ini ahli sastra anak-anak dan banyak menulis untuk anak-anak, di Koran, di majalah dan lain-lain. Curahan hati saya memang untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya masa kanak-kanak. Kita kan selalu melihat ke depan, “ ujarnya memulai pembicaraan. Berbicara soal buku, ia selalu tampak antusias. Bagi Riris, buku tidak hanya sekedar memuat informasi. Buku pun tidak hanya sekedar jendela menatap dunia.

“ Bagi saya buku itu adalah kehidupan. Jadi bagaimana cara kita bergumul, menghadapi dan memenangkan kehidupan, mau tak mau kita harus masuk kedalam dunia buku, “ katanya ketika menjabarkan arti buku baginya. Namun sayangnya, katanya, tak semua anak-anak Indonesia bisa memiliki akses membaca buku, apalagi buku-buku bermutu. Jumlah perpustakaan yang ada pun jauh dari memadai serta sepi pula dikunjungi oleh anak-anak. Anak dan remaja lebih suka jalan-jalan ke mall dari pada pergi ke perpustakaan.


“ Cobalah Anda pergi melihat ke perpustakaan. Buku anak-anak banyak, tapi tidak disentuh dan tidak dibaca. Kertas bukunya masih bagus-bagus, rapi-rapi dan masih mengkilat. Pada hal buku yang terbaca, apalagi sering dibaca, justru akan tampak jadi kumal, lecek dan hampir rusak. Kapan kita bisa melihat anak-anak itu datang berduyun-duyun ke perpustakaan dan melihat mereka bergembira karena tahu bahwa di perpustakaan itu banyak ilmu pengetahuan, “ katanya lebih lanjut. “ Itulah yang membuat saya dan kawan-kawan terpikir untuk membuat suatu perpustakaan yang dekat pada anak-anak dan remaja. Tetapi ,tentunya kami mempertimbangkan anak-anak itu tetap sebagai anak-anak, “ ujar wanita kelahiran Tarutung 24 Pebruari 1950 silam.


Curahan hatinya pada anak-anak Indonesia banyak dia ungkapkan lewat karya tulis. Karya tulisnya antara lain, Apresiasi Puisi Remaja, Sastra Masuk sekolah, nanda (drama), Perrempuan Di Rumah Tuhan, cairan Perempuan (monolog) dan lain-lain. Bahkan skripsi yang dia tulis untuk mengambil gelar sarjananya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, tahun 1975 silam, berbicara tentang bacaan anak-anak.


Pustaka Keliling Dan Kotak Kelana

Menumbuhkan agar minat baca anak dan remaja berkembang, salah satu caranya ialah memberikan akses yang mudah bagi mereka untuk membaca buku. Itulah gagasan awal berdirinya perpustakaan Kelana. Waktu itu tahun 1995. Pada awalnya Nasti Reksodiputro, salah seorang pensiunan dosen UI, bersama Riris Sarumpaet, Grace Wiradisastra dan Olvia Beauthauville sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan bernama Pustaka Kelana. Kegiatan yayasan ini untuk menyelenggarakan perpustakaan keliling diseputar Jakarta dengan menggunakan sejumlah mobil. Mobil perpustakaan ini akan mendatangi pelosok-pelosok Jakarta, dan menggelar buku bacaan bagi anak dan remaja. Selain itu, mereka menyediakan sebuah rumah berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, sebagai rumah pustaka yang diberi nama Pustaka Mangkal.

Tahun 1996 Pustaka Kelana diresmikan beroperasi oleh Menteri Pendidikan Nasional, kala itu dijabat oleh Prof.Dr.wardiman Djojonegoro. Kendaraan mobil pertama diperoleh dari sumbangan persatuan alumni Jerman, dan mobil kedua dari Citibank Peka (Peduli dan Berkarya). Sedangkan koleksi buku Pustaka Kelana berasal, selain dari sumbangan beberapa pribadi, beberapa penerbit dan bantuan dari Coca-Cola Foundation Indonesia. Buku-buku perpustakaan dalam edisi bahasa Inggris antara lain kontribusi dari British Council, Women’s International Club, University of Canberra, lembaga dari Jepang dan lain-lain. Kerjasama dengan sejumlah lembaga itu murni untuk membangun kesadaran membaca dan memberikan akses yang mudah bagi anak Indonesia untuk mendapatkan bacaan. Namun, mereka tetap selektif terhadap buku yang masuk.

“ Buku-buku Pustaka Kelana memang kita pilih. Saya harus melihat lebih dulu bagaimana moral buku tersebut dan visi apa yang hendak diberikan pada anak yang akan membacanya. Misalnya buku biografi seseorang. Dalam tampilannya bisa saja super lux, tebal dan bagus, tetapi bila saya tahu orang itu koruptor, maka buku itu tak akan masuk ke perpustakaan kami. Atau buku-buku yang bersifat rasialis, pelecehan seksual dan merendahkan martabat manusia, itu juga akan ditolak oleh pustaka Kelana. Kami harus memberi inspirasi positif kepada anak dan remaja melalui apa yang mereka baca, “ jelas Riris. Koleksi pustaka itu kini lebih dari 9000 buku dengan tiga buah mobil Kelana yang menjelajah kampung-kampung dan sekolah-sekolah di Jakarta.

“ Bila mobil pustaka Kelana telah tiba dilokasi, biasanya anak-anak pada riuh dan senang. Para pekerja pustaka kami, lalu menggelar tikar dan mereka kemudian melayani anak dan remaja yang ingin membaca disitu. Tiap mobil pustaka Kelana bisa melayani 11 tempat dalam setiap minggunya, “ ujarnya lagi memaparkan pelayanan mobil Kelana. Tapi, tidak hanya itu. Di pustaka Kelana anak-anak itu dididik bagaimana cara membaca yang benar. Kadang mereka diajak untuk membuat abstraksi. Kadang diajak bertukar pikiran. Kadang diajak mendongeng. Kadang mereka diajak dalam suatu kegiatan lomba. Lain lagi di pustaka Mangkal. Anak yang datang bisa membaca buku disitu, tetapi juga tersedia ruang untuk nonton. Anak-anak yang nonton akan didampingi dan kadang diajak diskusi tentang film yang telah mereka tonton.

“ Jadi pendekatan kami sebetulnya lebih kekeluargaan, tapi punya disiplin pendidikan. Anak-anak anggota pustaka Kelana dididik untuk berpikir kritis, tetapi juga diajar supaya punya keperdulian pada teman-temannya, “ ujar penerima penghargaan Satyalencana Karya Satya 20 tahun dan Dosen Teladan I, Fakultas Sastra UI tahun 1994.

Ada lagi yang disebut layanan Kotak Kelana. Kotak Kelana ini sering mereka kirim ke sekolah-sekolah SD dan SMP di Jakarta untuk mendapat pinjaman buku dari mereka. Setiap Kotak Kelana berisi antara 50 hingga 75 buku, baik berupa buku fiksi maupun ilmu pengetahuan, dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Menurut Riris, Kotak Kelana ini bahkan sudah melayani lintas pulau, menjangkau wilayah-wilayah nusantara, antara lain Aceh, Ambon dan daerah-daerah pulau Jawa lainnya.

“ Waktu masa-masa banjir dulu dan gempa meluluh lantakkan kota Yogya, kami mengirimkan banyak Kotak Kelana, serta memasang tenda-tenda untuk membantu anak-anak supaya tetap bisa belajar. Para relawan kami kirim untuk membantu anak-anak supaya tetap bisa belajar, “ katanya mengenang.


Tapi, Kotak Kelana ini juga bisa dipesan. Misalnya disuatu daerah, ada seseorang minta dikirimi Kotak Kelana, maka sipemesan hanya membayar satu kali untuk jumlah buku yang ada didalamnya. Untuk bulan-bulan selanjutnya, buku-buku yang telah habis dibaca, bisa ditukarkan dengan buku lainnya tanpa harus membayar lagi.

Perpustakaan Mobil Kelana dan Layanan Kotak Kelana, kata alumni University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat ini, dalam keseharian dijalankan oleh tiga orang karyawan, dan selebihnya dibantu oleh para relawan. Biaya operasional mereka sekitar 20 juta per bulan. Dana bantuan yang mereka dapat dari sumbangan pribadi maupun kerjasama dengan lembaga atau perusahaan yang memiliki kepeduliaan terhadap anak-anak Indonesia, itulah yang mereka kelola. “ Tapi, setiap dana yang kami terima kami buat laporannya. Tak jarang kami, anggota yayasan, harus menutup kekurangan dana operasional dari kantong sendiri, “ ujarnya tersenyum.

Sehari-hari Riris mengajar di Universitas Indonesia untuk mata kuliah pengkajian drama, pengkajian cerita anak dan metode penelitian sastra. Kini, sebagai dosen luar biasa untuk program pasca sarjana UI, dia antara lain mengajar sastra kontemporer dunia.


Bangga Sebagai Perempuan Batak

Riris mengaku bangga terlahir sebagai wanita Batak. Katanya, sifat berterus terang, tegas dan kritis serta peduli pada sesama yang jadi bagian dari integritas dirinya itu, diturunkan dari orangtuanya. Riris, anak kelima dari sembilan bersaudara, lahir dari pasangan Saladin Sarumpaet dan Yulia Hutabarat. Orangtuanya, Saladin Sarumpaet, dahulu dikenal sebagai pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan pernah menjadi Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam masa pemerintahan revolusioner buatan PRRI/Permesta. Menjelang akhir hidupnya, Saladin Sarumpaet pernah mengajar di Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, selain memberi andil mendirikan gereja HKBP Rawamangun. Juga pernah sebagai pejabat aktif di Dewan Gereja Indonesia (DGI). Ibunya, Yulia Hutabarat, dahulu dikenal sahabat dekat Mohammad Hatta dan pernah menjabat Ketua Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Sumatera Timur serta anggota Konstituante.

Pergaulannya dalam lintas budaya dan disiplin ilmu mempertemukannya dengan seorang pria Sunda, Ir.Franciscus Toha, pengajar di Departemen Teknik Sipil, ITB. Mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah pada 8 Desember 1979 di Wisconsin, Amerika Serikat. “ Dia bangga dan senang dapat wanita Batak, “ kata Riris ketika menyinggung sekitar perjalanan rumah tangganya. Suaminya pun telah lama dirajahon, diberi marga Manulang.

Menurut suaminya, perempuan Batak itu memiliki karakter kuat dan bertanggung jawab. Dari buah perkawinan mereka, Tuhan telah mengaruniakan pada mereka tiga orang putri yaitu Risa, Astrid dan Thalia Toha. Biduk rumah tangga yang telah mereka dayung selama hampir tiga puluh tahun, hanya dimungkinkan karena adanya saling pengertian antara mereka. “ Makin hari rumah tangga kami makin baik, makin harmonis, seiring dengan umur kami yang semakin tua. Karena apa ? Karena dialah yang paling mengenal diri saya dan sayalah yang paling mengenal pribadi suami saya, “ simpulnya seraya tersenyum bahagia.


* tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah TAPIAN, edisi September 2008.

Jumat, 12 Desember 2008

Djambatan, Riwayatmu Dulu,Nasibmu Kini

By.Sahala Napitupulu.

Meminjam kata sebuah iklan, kebodohan itu sangat dekat dengan kemiskinan. Untuk bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan maka diperlukan suatu jembatan. Nama jembatan itu adalah buku.

Di Indonesia, banyak buku beredar di masyarakat, salah satunya berkat jasa penerbit yang kebetulan bernama Djambatan. Gagasan untuk mendirikan penerbit ini bermula dari Djamaludin Adinegoro, Kasoema Soetan Pamoentjak,Prof. Ir Soetomo Wongsotjitro, Dr.Achmad Ramali St.Lembang Alam, Intojo, Hendrik Mattheus van Randwijk dan Cornelis de Koning. Semua telah tiada. Sementara direksi dan karyawannya keluar masuk silih berganti.

Hari itu, di Jakarta, tanggal 19 Februari 1954, ketujuh orang yang berniat baik tersebut datang menghadap notaries Raden Mr.Soewandi untuk dibuatkan akte pendirian perseroan terbatas dengan nama N.V.Penerbit Djambatan-Djakarta. Hari itu adalah hari lahir penerbit Djambatan. Tetapi, cikal bakalnya ada di negeri Belanda. Sebab, sebelumnya telah ada beberapa buku karangan dan terjemahan orang Indonesia yang diterbitkan disana oleh penerbit yang bernama De Brug-Djambatan. Misalnya, buku Dari Ekonomi Pendjajahan Ke Arah Ekonomi Kebangsaan, karya Th.A Fruin, diterbitkan atas nama N.V.Djambatan-Amsterdam tahun 1949.

Begitulah menurut catatan Jaap Erkelens, orang yang pernah duduk sebagai Kepala Perwakilan KITLV di Jakarta, dari tahun 1974 sampai 2003. KITLV adalah akronim dari Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde. Ia adalah sebuah lembaga penelitian yang khusus bergerak dalam bidang-bidang ilmu sosial dan kemanusiaan Asia Tenggara dengan kantor pusatnya berada di Leiden, Belanda.

Erkelens, dalam penelusurannya terhadap koleksi perpustakaan KITLV yang ada di Leiden, menemukan ada sekitar 465 judul buku pernah diterbitkan oleh Djambatan selama tahun 1949 sampai 2002. Dari 465 judul buku itu, ada sebanyak 69 buku berupa keluaran tahun 1949 sampai 1953. Jadi, sebelum lahirnya penerbit Djambatan-Djakarta. Rupanya buku-buku karangan atau terjemahan orang Indonesia yang dicetak di negeri Belanda itu banyak dimasukkan ke Indonesia melalui sebuah yayasan yang juga bernama De Brug (bahasa Belanda berarti Jembatan). Tokoh utama dibalik proses sejarah ini ialah Hendrik Mattheus van Randwijk dan Cornelis de Koning. Begitulah cerita hubungan historis antara penerbit Djambatan di Jakarta dengan penerbit Djambatan di Amsterdam.

Katalog, Pamflet dan Brosur

Ketujuh pendiri tersebut ada yang berprofesi sebagai wartawan, pengarang, penerjemah dan pegawai dari Kabinet Presiden RI. Hanya ada dua orang yang sudah berpengalaman dalam usaha penerbitan, yaitu Cornelis de Koning yang berasal dari yayasan De Brug-Amsterdam dan Kasoema Soetan Pamoentjak, mantan Kepala Balai Pustaka, Jakarta. Namun, sejak awal, para pendiri tersebut telah berketetapan hati untuk menjadikan Djambatan tidak semata sebagai usaha komersial, melainkan perusahaan yang akan menerbitkan bacaan-bacaan bermutu.

Kesadaran itulah yang terus dikembangkan oleh Kasoema Soetan Pamoentjak manakala ia duduk sebagai direktur pertama (1954-62). Sebagai orang yang selalu aktif dalam gerakan dan organisasi kebudayaan dan politik pada masa kepemimpinannya, ia berhasil menarik orang-orang terkemuka Indonesia. Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan Dr Soepomo SH adalah beberapa nama yang pernah mempercayakan naskah mereka untuk diterbitkan oleh Djambatan. Rintisan Kasoema Soetan Pamoentjak itu kemudian diteruskan oleh direksi generasi selanjutnya, seperti Dr Sjahrial Muin, Gadis Rasid, Roswita P Singgih, Sjarifuddin dan kini Zulkarnaen (cucu Dr Achmad Ramali).

Dalam perjalanan usianya yang sekarang 55 tahun, perusahaan ini telah menerbitkan lebih kurang 1000 judul buku. Sambutan masyarakat terhadap buku-buku Djambatan tak diragukan lagi karena telah tercitrakan sebagai penerbit buku bermutu. Banyak bukunya yang mengalami cetak ulang berkali-kali dan tetap masih dicari masyarakat. Sebutlah seperti buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, karya Dr Koentjaraningrat, mengalami 29 kali cetak ulang. Novel Burung-Burung Manyar, karya Y B Mangunwijaya 12 kali cetak ulang. Buku How to Master the Indonesian Language, karya A M Almatsier 19 kali. Atlas Anatomi, karya Chr P Raven 22 kali. Bahkan buku Kamus Kedokteran, karya Dr Achmad Ramali dan K St Pamoentjak tercatat 25 kali cetak ulang.

Penjualan buku terbitan Djambatan dilakukan baik secara retail melalui toko-toko buku maupun penjualan langsung kepada instansi dan perorangan. Pemasaran dilakukan melalui katalog, pamflet dan brosur yang disebarkan kepada toko-toko buku dan tempat lainnya. Selain aktif mengikuti berbagai pameran buku di Indonesia tentunya.

Sudah Dijual

Namun, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, ketatnya persaingan para penerbit sementara masih rendahnya minat baca masyarakat, berimbas juga terhadap Djambatan. Untuk bisa bertahan, Djambatan harus melakukan perampingan karyawan dan melakukan tindakan efisiensi lainnya. Jumlah karyawan yang semula 60 orang, kini tinggal 10. Tim pemasaran dan cara-cara pemasaran lama, terpaksa dievaluasi, oleh karena omzet penjualan Djambatan yang tadinya bisa ratusan juta per bulan, kini tinggal setengahnya.

Mula-mula berkantor di Jl.Ir H Juanda No.15. Karena perkembangannya, tahun 1973 Djambatan pindah ke Jl Kramat Raya No.152. Disini kantor dan toko buku menyatu. Namun, sejak Oktober 1983 bagian penerbitan (redaksi dan produksi) pindah ke Jl Wijaya I/39, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sedangkan bagian gudang dan toko buku sejak 1992 pindah ke Jl Paseban No.29, Jakarta Pusat. Tetapi, sekarang yang ada hanya tinggal yang di Paseban, sebagai kantor sekaligus toko buku. Satu-satunya. Kantor Djambatan yang di Kebayoran Baru sudah dijual.

Meski demikian, Zainudin, Dirut Djambatan yang baru tetap optimis Djambatan akan bisa sehat kembali. Dalam perbincangan dengan TAPIAN, beberapa waktu lalu, dia mengutarakan beberapa langkah persiapan yang sudah dia lakukan. “ Pertama, yang akan saya lakukan adalah pengendalian biaya usaha. Kedua, untuk produk-produknya kita tidak bisa lagi mengandalkan bahan buku lama, termasuk pengarang-pengarangnya. Dalam menggencarkan pemasaran yang baru nanti Djambatan akan membentuk tim kreatif sendiri, termasuk tim penulisnya. Kemudian Djambatan tidak lagi harus mengandalkan outlet penerbit besar, seperti Gramedia dan Gunung Agung. Saya berusaha untuk membentuk tim distributor yang akan masuk ke kampus-kampus dengan membuka penjualan buku-buku Djambatan yang jauh lebih murah tentunya daripada membelinya di toko-toko buku. Dan, sesuai dengan perkembangan teknologi sekarang, Djambatan pun akan membuka toko buku Djambatan online, “ katanya memaparkan dengan bersemangat.

Sepanjang sejarahnya, memang belum pernah ada buku-buku terbitan Djambatan yang dilarang beredar. Beberapa judul buku malah pernah menerima penghargaan. Menyebut beberapa judul yang pernah menerima penghargaan berdasarkan kriteria isi buku, antara lain : Ziarah, novel Iwan Simatupang, pemenang hadiah sastra Asean 1972 dan Burung-Burung Manyar, pemenang South East Asia Write Award 1983.

* Tulisan ini telah dipublikan sebelumnya di majalah budaya TAPIAN, edisi Oktober 2008, dalam rubrik Dibalik Buku.