googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: 2009

Selasa, 26 Mei 2009

Gunung Mulia, Tonggak Penerbit Buku Kristen




By.Sahala Napitupulu.

Dia pemancang tonggak sejarah penerbit buku Kristen di Indonesia. Dalam usianya yang sekarang, lebih dari setengah abad, dia terus melayani kebutuhan gereja dan umat Kristen melalui literatur. Itulah Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, penerbit Kristen tertua di Indonesia sesudah Kanisius. Bila penerbit Kanisius mulai berkarya se jak Januari 1922, maka penerbit Gunung Mulia memulainya tahun 1950. Ada lagi penerbit yang lebih muda usianya, Immanuel yang didirikan Agustus 1967.

Kanisius, yang mula-mula bernama Canisius Drukkerij, berkiprah untuk memberdayakan Indonesia melalui dunia pendidikan. Berdirinya sekolah-sekolah Kanisius, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas diberbagai wilayah, merupakan bukti komitmen Kanisius. Tapi, tak hanya itu. Melalui penerbitan Kanisius kebutuhan murid terhadap buku sekolah dan bacaan bermutu dapat terpenuhi. Buku-buku terbitan Kanisius meliputi berbagai bidang, antara lain keagamaan, humaniora, teknologi, pertanian dan lain-lain. Namun, tidak banyak orang tahu bahwa dahulu kala, tepatnya di tahun 1928, Canisius Drukkerij juga pernah menerbitkan surat kabar : Tamtama Dalem dan Swaratama. Kedua koran itu diterbitkan untuk mendukung cita-cita perjuangan kemerdekaan pemuda Indonesia kala itu.


Sementara penerbit gunung Mulia berdiri dilatar belakangi kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya soal politik. Untuk pembangunan bangsa, nilai-nilai spiritual dan rohani juga perlu ditanamkan. Seperti kata orang bijak, nation building harus disertai church building. Sejalan dengan kearifan itu, Oktober 1946 didirikanlah Badan Penerbit Darurat dari Zending dan Gereja. Badan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Badan Penerbit kristen (BPK) ditahun 1950. Dan dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1971, namanya berganti menjadi BPK Gunung Mulia dan dipakai hingga sekarang.

Berkat Verkuyl

Sejarah penerbit Gunung Mulia tak bisa tidak terkait dengan nama seorang Belanda, Dr.Jo Verkuyl. Pada mulanya 28 Desember 1939. Verkuyl dan istrinya Rie dengan tiga anak berangkat naik kereta api malam menuju Genoa, kota pelabuhan di Italia. Dari situ mereka naik kapal Belanda menuju Indonesia. Keluarga itu kemudian tiba di Tanjung Priok pada awal januari 1940. Kedatangan Verkuyl ke Indonesia adalah sebagai pendeta misionaris yang diutus oleh Gereja Gereformeerd Rotterdam.


Di Indonesia, ia kemudian banyak membina umat serta membangun kerjasama dengan pendeta-pendeta lokal. Salah satu mimpinya ialah supaya gereja memiliki badan penerbit sendiri untuk memproduksi dan mendistribusikan bahan bacaan, seperti majalah dan buku. Namun, mimpinya itu tak bisa segera ia realisasikan. Sebab di tahun 1942 Jepang menginvasi dan menguasai Indonesia. Verkuyl, sama seperti orang Belanda lainnya, dijadikan tawanan tentara Jepang. Ia ditawan di Purwokerto, lalu Pekalongan, Ngawi dan akhirnya Cimahi. Ia dipenjarakan hampir tiga setengah tahun lamanya.

Setelah Indonesia merdeka barulah ia dibebaskan. Dan pada tahun 1946, atas dorongan dan bantuan sahabatnya Pdt.C.Kainama dan Pdt.B.Probowinoto, Verkuyl dapat mewujudkan mimpinya mendirikan Badan Penerbit Darurat dari Zending dan Gereja. Dan bersama dengan sahabat-sahabatnya, antara lain Alfred Simanjuntak, mereka mendirikan BPK Gunung Mulia. Pada mulanya badan penerbit Kristen ini merupakan bagian dari pelayanan Dewan Gereja Indonesuia (DGI). Tapi, sejak 1971 Gunung Mulia berdiri sendiri.

Sudah Online

Pada mulanya hanya buku teologi. Buku Tafsir Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru serta Konkordansi Alkitab, sejak awalnya merupakan produk utama Gunung Mulia. Menyusul buku-buku homiliotik, katekismus, etika, pastorat, apostolat sejarah gereja, relasi iman dengan ilmu pengetahuan, kamus Alkitab dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, sekarang penerbit ini tidak hanya menerbitkan buku agama Kristen. Ia juga telah menjelajah ke penerbitan buku-buku sekuler. “ Tapi, walau kami menerbitkan buku sekuler, nilai buku itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, “ ujar Ir.Otniel Aintoro, Chief Publisher Gunung Mulia. Ia menjelaskan bahwa buku-buku yang masuk kategori “ non-rohani “ itu diterbitkan dibawah logo bertuliskan Libri dengan gambar buku terbuka. Dalam kategori ini sebutlah seperti koleksi buku humaniora, biografi, bacaan populer, novel, manajemen dan lain-lain.

Dinamika dan perkembangan dunia penerbitan sekarang terlihat dari munculnya penerbit-penerbit muda. Penerbit muda yang lebih militan dan agresif dalam merebut pasar. Banyak penerbit-penerbit tua terdepak karena kalah agresif. Gunung Mulia tentu haruis ikut bersaing. Dan untuk bisa memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan beberapa syarat. Salah satunya ialah pengelolaan yang profesional. Gunung Mulia sadar betul mengenai hal ini. Oleh karena itulah mengapa sejak lima tahun terakhir ini Gunung Mulia mengembangkan manajemen profesional. Hasilnya, seperti kata Otniel, disaat banyak penerbit buku sekarang terpuruk dan bangkrut, Gunung Mulia bisa bertahan. Tidak hanya bertahan tapi juga berkembang.

“ Kini kami memiliki lima kantor cabang dan tujuh toko sendiri. BPK Gunung Mulia kini mempekerjakan sekitar 300 orang karyawan. Dengan team work kami yang sekarang, kami bisa menerbitkan sekitar 200 judul pertahun atau sekitar 17 judul buku per bulan, “ kata Otniel kepada wartawan TAPIAN. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, bagi masyarakat yang ingin mengetahui buku-buku terbaru atau ingin membeli buku terbitan Gunung Mulia, sekarang sudah bisa belanja online dengan mengklik www.bpkgm.com

* keterangan photo : Bpk.Nandar, direktur BPK.Gunung Mulia dan toko buku Gunung Mulia, jl.kwitang raya, no.22-23, Jakarta Pusat.

* Tulisan ini telah dimuat dimajalah TAPIAN edisi Mei 2009.












Senin, 02 Maret 2009

Semoga Jayalah, Pustaka Jaya...



By Sahala Napitupulu.

Menyebut nama Pustaka Jaya, sekurang-kurangnya kita pasti akan teringat dua hal. Pertama, dia adalah penerbit buku sastra bermutu. Kedua, nama sastrawan Ajip Rosidi, 71 tahun, yang dikenal sebagai sosok sastrawan yang produktif. Dia menulis dalam Bahasa Indonesia, tetapi sumbangannya pada sastra Sunda fenomenal. Pada usia belum 15 tahun dia sudah menerbitkan sebuah novel. Ketika teman-teman sebayanya masih duduk di sekolah menengah pertama, dia menjadi pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar. Umur 17, Ajip adalah salah seorang redaktur Balai Pustaka. Dia menulis lebih dari 50 judul buku dalam Bahasa Indonesia maupun Sunda.
Sebelum lahirnya Pustaka Jaya, Ajip mendirikan penerbit Kiwari dan Tjupumanik di Jatiwangi. Setelah Pustaka Jaya lahir, dia mendirikan penerbit Girimukti Pusaka dan Kiblat Buku Utama di Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai sekarang, seperti Pustaka Jaya, namun ada juga yang telah lama berhenti.
Sebagaimana yang diuraikan Ajip Rosidi dalam buku otobiografinya, “Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan,” lahirnya Pustaka Jaya bukanlah hasil dari suatu seminar atau pertemuan para sastrawan. Ia berawal dari sebuah percakapan ringan di awal 1970-an antara dirinya dengan Ali Sadikin yang menjabat guberniur Jakarta waktu itu. Di antara perbincangan yang berlangsung di rumah sang Gubernur, tercatat kegelisahan seperti ini:
“Mengapa anak-anak sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik,” tanya Ali Sadikin mengungkapkan keprihatinannya.
“Untunglah mereka masih membaca. Bahwa mereka membaca komik karena hanya itulah yang ada. Buku tidak ada. Para penerbit kita tidak menerbitkan buku untuk bacaan anak-anak, untuk orangtua juga tidak banyak,” jawab Ajip Rosidi.
“Mengapa?” tanya sang Gubernur lagi. Ajip lalu menjelaskan situasi penerbitan dan perbukuan sesuai dengan pengalaman dan pengamatannya.
“Kebanyakan penerbit, terutama mendahulukan mencari keuntungan, sehingga menerbitkan buku itu hanya yang nyata-nyata dicari oleh masyarakat. Penerbit buku bacaan yang baik, seperti dahulu Balai Pustaka tidak ada lagi. Dahulu pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi untuk Balai Pustaka, tapi pemerintah kita tidak. Bahkan Balai Pustaka pernah diberhentikan fungsinya sebagai penerbit. Hanya dijadikan percetakan saja,” urai Ajip kepada sang Gubernur.
Siapa menyangka percakapan ringan itu berbuah kesepakatan untuk mendirikan satu penerbit yang menyediakan buku bacaan yang baik buat anak-anak dan orangtua. Gubernur bersedia menyediakan pinjaman modal untuk keperluan itu, yang akan dikembalikan kalau penerbit tersebut sudah mampu berdiri sendiri. Pinjaman modal diberikan melalui Yayasan Jaya Raya yang diketuai oleh Ir Ciputra, sebesar Rp 20 juta. Mei 1971, penerbit itu pun resmi berdiri. Ajip Rosidi memberinya nama Pustaka Jaya, sedangkan Ciputra pada mulanya menginginkan nama Jaya Pustaka. Dalam perkembangannya, sejak tahun 1976, Pustaka Jaya tidak lagi di bawah naungan Yayasan Jaya Raya, tetapi telah berdiri sendiri di bawah bendera PT Dunia Pustaka Jaya.

Kawan lama Ajip
Pada mulanya, kantor Pustaka Jaya masih menumpang di kompleks Taman Ismail Marzuki. Setelah keuangan perusahaan cukup sehat, Pustaka Jaya mampu membeli gedung untuk kantor sendiri di Jalan Kramat II no. 31A dan di Kramat Raya no.5K, Jakarta. Namun, apa daya, di era 1990-an, Pustaka Jaya mengalami krisis keuangan, sehingga satu dari dua gedung itu harus dijual untuk menutupi utang-utangnya. Kini, kantor satu-satunya terletak di Kramat Raya no.5K, yang juga berfungsi sebagai gudang.
Seri buku karya sastra dan budaya merupakan produk Pustaka Jaya. Ia mengutamakan karya sastera lama dan baru, baik dari pengarang Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari karya klasik dunia. Ketika jumlah judul buku yang diproduksi sudah cukup banyak, muncul masalah bagaimana mamasarkannya. Untuk membantu promosi buku-buku Pustaka Jaya, Gubernur Ali Sadikin waktu itu sempat mengadakan konferensi pers di Balaikota. “Buku-buku (Pustaka Jaya) ini bagus. Harus dijual bebas kepada masyarakat,” katanya kepada para wartawan. Kata-kata sang Gubernur ternyata kurang memikat publik, dan penjualan buku-buku Pustaka Jaya berjalan dengan seret.
Ajip bercerita, sesudah konferensi pers tersebut, dia lalu mencoba menawarkan buku-bukunya ke semua sekolah dasar ada di wilayah DKI Jakarta. Waktu itu di Jakarta terdapat kurang lebih 1.000 sekolah dasar. Hasilnya betul-betul menyedihkan. Yang menyambut penawaran itu hanya satu sekolah. Itu pun karena kepala sekolahnya kawan lama Ajip di Jatiwangi. Kenyataan itu menunjukkan betapa kecilnya perhatian para kepala sekolah dasar di Jakarta terhadap buku bacaan sastra. Perhatian mereka pada perpustakaan juga memprihatinkan.
Berdasarkan kenyataan pahit itu, Ajip berpendapat bahwa yang pertama-tama harus dia jual bukanlah produk buku, melainkan gagasan. Gagasan agar para guru dan orangtua mendidik anak-anaknya supaya suka membaca. Soalnya, bagaimana meningkatkan kegemaran membaca di kalangan anak-anak sejak usia dini. Ajip sering berkeliling ke sekolah-sekolah dasar maupun menengah di Ibu Kota maupun di luar Jakarta. Dia berkeliling untuk memberikan ceramah-ceramah tentang pentingnya siswa banyak membaca dan pentingnya sekolah memiliki perpustakaan.
Jerih-payah Ajip tidak percuma. Lambat laun, buku-buku Pustaka Jaya mulai mendapat sambutan. Itu terlihat dari resensi-resensi buku dan berita tentang Pustaka Jaya yang dimuat di surat-surat kabar. Masyarakat mulai haus akan buku-buku bermutu.
Tidak hanya itu. Sambutan masyarakat terhadap buku-buku Pustaka Jaya ternyata ikut membangkitkan semangat di kalangan penerbit lain. Penerbit-penerbit terkemuka, seperti Djambatan, Gunung Agung dan lainnya, yang tadinya terseok-seok jadi optimis setelah melihat sukses Pustaka Jaya. Lihatlah, dalam katalog daftar buku tahun 1984, tercatat Pustaka Jaya waktu itu telah menerbitkan lebih dari 600 judul buku dengan lebih dari 10 juta eksemplar. Itu artinya, hampir setiap minggu ada buku baru yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Dan dari jumlah 10 juta eksemplar itu, lebih dari sembilan juta terserap oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum.
Buku-buku Pustaka Jaya sering menjadi rujukan. Para pengarang pastilah sangat bangga bila karya-karya mereka diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Namun, kejayaan penerbit ini tak bertahan lama, tak semantap nama Ajip Rosidi dalam sastra dan budaya. Kekeliruan kebijakan dan salah urus di era 1990-an membawanya ke tepi jurang. Kini, tak banyak lagi buku edisi baru yang bisa dia terbitkan, kecuali hanya beberapa judul dalam setahun. Kerjanya hanya mencetak ulang buku-buku lama.
Jika penerbit lain telah memiliki website dan memanfaatkan media online untuk memasarkan buku-buku mereka, tidak demikian halanya Pustaka Jaya. Menurut manajernya, Ahmad Rivai, dunia maya atau website baru berupa angan-angan, belum merupakan prioritas. Ia menyebut krisis keuangan yang dialami Pustaka Jaya dahulu cukup parah. “Ibaratnya, sakit yang kami alami telah memasuki stadium dua. Sehingga sampai sekarang Pustaka Jaya masih dalam tahap pemulihan supaya bisa kembali menjadi perusahaan yang sehat,” kata Rivai. Semoga Pustaka Jaya bisa mengembalikan kejayaannya.
* Tulisan ini juga telah dimuat di majalah TAPIAN, edisi Maret 2009.

Selasa, 27 Januari 2009

Dian Rakyat, si Tua yang Masih Bercahaya





(kantor penerbit Dian Rakyat)

By Sahala Napitupulu.

Dian berarti pelita yang membawa cahaya terang. Itulah maksud kehadiran penerbit ini sejak awalnya. Memberi cahaya kepada rakyat Indonesia melalui bacaan dalam bentuk buku-buku bermutu. Sekarang umurnya sudah termasuk tua. Ia bersaing dengan penerbit-penerbit muda yang lebih agresif dalam merebut pasar. Mereka bahkan memiliki tim penulis kreatif. Namun, ia masih punya tempat istimewa dalam hati dunia perbukuan di Indonesia. Itulah penerbit Dian Rakyat.

Bermula di tahun 1943. Indonesia kala itu dibawah pendudukan tentara Jepang. Majalah Pujangga Baru yang telah terbit sejak Juli 1933 dilarang oleh Jepang. Pujangga Baru adalah majalah bulanan yang mengusung sejumlah pemikiran sastrawan, budayawan dan kaum intelektual Indonesia. Sebutlah seperti Arminj Pane, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan lain-lain. Kiblat pemikiran mereka adalah Barat dan nama STA berada dibarisan terdepan.

Dengan alasan ke Barat-baratan itu, Jepang lalu membekukan majalah Pujangga Baru. Tapi, STA tak menyerah. Sebagai gantinya, dia mendirikan penerbit dan percetakan Pustaka Rakyat. Disini terbit karya tulis STA, terutama tentang bahasa Indonesia. Diantaranya Tata Bahasa Baru Indonesia I dan II, Sejarah Bahasa Indonesia dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Sesudah kemerdekaan, ditahun 1962, Pustaka Rakyat berganti nama menjadi Dian Rakyat, dan nama itu bertahan hingga sekarang ini.

“ Masa itu, DR memang lebih dikenal sebagai penerbit buku-buku karya sastra. Karya-karya puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Arminj Pane termasuk yang pernah diterbitkan oleh DR, “ ujar Diana Susyanti, manager penerbitan DR. Namun, sejak era 1980-an, dia tidak hanya menerbitkan buku-buku sastra. Untuk bisa bertahan hidup, bersaing dengan penerbit-penerbit muda dan merebut pasar, katanya, mereka kemudian lebih memilih menerbitkan buku-buku Referensi Populer.

“ Yang kami maksud referensi populer bisa berupa buku refrensi dan bisa buku populer. Yang kami anggap sebagai referensi seperti buku kamus bahasa, kedokteran, hukum, agama, komputer dan lain-lain. Sedangkan buku-buku tentang hobbi, kuliner dan kerajinan bisa dimasukkan sebagai buku-buku populer, “ Diana menjelaskan. Dia telah bekerja lebih dari 10 tahun untuk penerbit ini. Kini, katanya, perusahaan membidik sasaran sebagai penerbit buku bacaan keluarga. Family’s Best Friend Publisher atau Penerbit Sahabat Keluarga Terbaik, itulah moto yang diusung DR sekarang.

Belum Bisa Online

Dahulu, DR sebetulnya telah tercitrakan sebagai penerbit buku-buku seri budaya dan sastra bermutu. Tak heran karena DR dipimpin langsung oleh STA, seorang budayawan, sastrawan dan akademisi. Namun dalam perkembangannya, setelah dipimpin oleh Mario, salah seorang putranya, citra itu telah bergeser. DR kini merebut perhatian kaum pelajar dan mahasiswa melalui buku-buku referensi. Buku-buku tentang Komputer terbitan DR amat diminati, terutama bagi para penggila komputer. Selebihnya adalah buku-buku kamus dan kedokteran.

Meski demikian, buku-buku DR sifatnya tidak membanjiri pasar. Buku terbitan DR tidak banyak bila dibandingkan dengan penerbit seperti Gramedia, Erlangga dan lain-lain. “ Konsep pemasaran kami memang bukan untuk membanjiri pasar seperti mereka. Untuk menjaga safety cash flow kami lebih memilih buku yang sifatnya longterm. Tidak apa-apa sedikit. Tapi buku yang sedikit itu hidupnya panjang dan bisa menguntungkan, “ urai Diana.

Sebagai penerbit DR memang punya sejarah tersendiri dan istimewa di negeri ini. Tak diragukan. Tapi kini, ia berada dalam persaingan bisnis, kompetisi dan promosi yang berapi-api. Beberapa penerbit kini sudah memiliki website sendiri. Sehingga buku-buku mereka, termasuk edisi terbaru, dapat diinformasikan kepada masyarakat melalui website tersebut. Bahkan masyarakat sekarang bisa membeli buku dengan sistem online. Tak kalah, Dian Rakyat juga memiliki website yang dapat dikunjungi di : http://www.dianrakyat.co.id/. Namun, sayang ketika Tapian mengunjungi situs tersebut, ternyata isinya tak pernah di up date. Itu-itu mlulu…! Capek deh..


*Tulisan ini juga dipublikasikan di majalah TAPIAN, edisi Februari 2009.