googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: Djambatan, Riwayatmu Dulu,Nasibmu Kini

Jumat, 12 Desember 2008

Djambatan, Riwayatmu Dulu,Nasibmu Kini

By.Sahala Napitupulu.

Meminjam kata sebuah iklan, kebodohan itu sangat dekat dengan kemiskinan. Untuk bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan maka diperlukan suatu jembatan. Nama jembatan itu adalah buku.

Di Indonesia, banyak buku beredar di masyarakat, salah satunya berkat jasa penerbit yang kebetulan bernama Djambatan. Gagasan untuk mendirikan penerbit ini bermula dari Djamaludin Adinegoro, Kasoema Soetan Pamoentjak,Prof. Ir Soetomo Wongsotjitro, Dr.Achmad Ramali St.Lembang Alam, Intojo, Hendrik Mattheus van Randwijk dan Cornelis de Koning. Semua telah tiada. Sementara direksi dan karyawannya keluar masuk silih berganti.

Hari itu, di Jakarta, tanggal 19 Februari 1954, ketujuh orang yang berniat baik tersebut datang menghadap notaries Raden Mr.Soewandi untuk dibuatkan akte pendirian perseroan terbatas dengan nama N.V.Penerbit Djambatan-Djakarta. Hari itu adalah hari lahir penerbit Djambatan. Tetapi, cikal bakalnya ada di negeri Belanda. Sebab, sebelumnya telah ada beberapa buku karangan dan terjemahan orang Indonesia yang diterbitkan disana oleh penerbit yang bernama De Brug-Djambatan. Misalnya, buku Dari Ekonomi Pendjajahan Ke Arah Ekonomi Kebangsaan, karya Th.A Fruin, diterbitkan atas nama N.V.Djambatan-Amsterdam tahun 1949.

Begitulah menurut catatan Jaap Erkelens, orang yang pernah duduk sebagai Kepala Perwakilan KITLV di Jakarta, dari tahun 1974 sampai 2003. KITLV adalah akronim dari Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde. Ia adalah sebuah lembaga penelitian yang khusus bergerak dalam bidang-bidang ilmu sosial dan kemanusiaan Asia Tenggara dengan kantor pusatnya berada di Leiden, Belanda.

Erkelens, dalam penelusurannya terhadap koleksi perpustakaan KITLV yang ada di Leiden, menemukan ada sekitar 465 judul buku pernah diterbitkan oleh Djambatan selama tahun 1949 sampai 2002. Dari 465 judul buku itu, ada sebanyak 69 buku berupa keluaran tahun 1949 sampai 1953. Jadi, sebelum lahirnya penerbit Djambatan-Djakarta. Rupanya buku-buku karangan atau terjemahan orang Indonesia yang dicetak di negeri Belanda itu banyak dimasukkan ke Indonesia melalui sebuah yayasan yang juga bernama De Brug (bahasa Belanda berarti Jembatan). Tokoh utama dibalik proses sejarah ini ialah Hendrik Mattheus van Randwijk dan Cornelis de Koning. Begitulah cerita hubungan historis antara penerbit Djambatan di Jakarta dengan penerbit Djambatan di Amsterdam.

Katalog, Pamflet dan Brosur

Ketujuh pendiri tersebut ada yang berprofesi sebagai wartawan, pengarang, penerjemah dan pegawai dari Kabinet Presiden RI. Hanya ada dua orang yang sudah berpengalaman dalam usaha penerbitan, yaitu Cornelis de Koning yang berasal dari yayasan De Brug-Amsterdam dan Kasoema Soetan Pamoentjak, mantan Kepala Balai Pustaka, Jakarta. Namun, sejak awal, para pendiri tersebut telah berketetapan hati untuk menjadikan Djambatan tidak semata sebagai usaha komersial, melainkan perusahaan yang akan menerbitkan bacaan-bacaan bermutu.

Kesadaran itulah yang terus dikembangkan oleh Kasoema Soetan Pamoentjak manakala ia duduk sebagai direktur pertama (1954-62). Sebagai orang yang selalu aktif dalam gerakan dan organisasi kebudayaan dan politik pada masa kepemimpinannya, ia berhasil menarik orang-orang terkemuka Indonesia. Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan Dr Soepomo SH adalah beberapa nama yang pernah mempercayakan naskah mereka untuk diterbitkan oleh Djambatan. Rintisan Kasoema Soetan Pamoentjak itu kemudian diteruskan oleh direksi generasi selanjutnya, seperti Dr Sjahrial Muin, Gadis Rasid, Roswita P Singgih, Sjarifuddin dan kini Zulkarnaen (cucu Dr Achmad Ramali).

Dalam perjalanan usianya yang sekarang 55 tahun, perusahaan ini telah menerbitkan lebih kurang 1000 judul buku. Sambutan masyarakat terhadap buku-buku Djambatan tak diragukan lagi karena telah tercitrakan sebagai penerbit buku bermutu. Banyak bukunya yang mengalami cetak ulang berkali-kali dan tetap masih dicari masyarakat. Sebutlah seperti buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, karya Dr Koentjaraningrat, mengalami 29 kali cetak ulang. Novel Burung-Burung Manyar, karya Y B Mangunwijaya 12 kali cetak ulang. Buku How to Master the Indonesian Language, karya A M Almatsier 19 kali. Atlas Anatomi, karya Chr P Raven 22 kali. Bahkan buku Kamus Kedokteran, karya Dr Achmad Ramali dan K St Pamoentjak tercatat 25 kali cetak ulang.

Penjualan buku terbitan Djambatan dilakukan baik secara retail melalui toko-toko buku maupun penjualan langsung kepada instansi dan perorangan. Pemasaran dilakukan melalui katalog, pamflet dan brosur yang disebarkan kepada toko-toko buku dan tempat lainnya. Selain aktif mengikuti berbagai pameran buku di Indonesia tentunya.

Sudah Dijual

Namun, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997, ketatnya persaingan para penerbit sementara masih rendahnya minat baca masyarakat, berimbas juga terhadap Djambatan. Untuk bisa bertahan, Djambatan harus melakukan perampingan karyawan dan melakukan tindakan efisiensi lainnya. Jumlah karyawan yang semula 60 orang, kini tinggal 10. Tim pemasaran dan cara-cara pemasaran lama, terpaksa dievaluasi, oleh karena omzet penjualan Djambatan yang tadinya bisa ratusan juta per bulan, kini tinggal setengahnya.

Mula-mula berkantor di Jl.Ir H Juanda No.15. Karena perkembangannya, tahun 1973 Djambatan pindah ke Jl Kramat Raya No.152. Disini kantor dan toko buku menyatu. Namun, sejak Oktober 1983 bagian penerbitan (redaksi dan produksi) pindah ke Jl Wijaya I/39, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sedangkan bagian gudang dan toko buku sejak 1992 pindah ke Jl Paseban No.29, Jakarta Pusat. Tetapi, sekarang yang ada hanya tinggal yang di Paseban, sebagai kantor sekaligus toko buku. Satu-satunya. Kantor Djambatan yang di Kebayoran Baru sudah dijual.

Meski demikian, Zainudin, Dirut Djambatan yang baru tetap optimis Djambatan akan bisa sehat kembali. Dalam perbincangan dengan TAPIAN, beberapa waktu lalu, dia mengutarakan beberapa langkah persiapan yang sudah dia lakukan. “ Pertama, yang akan saya lakukan adalah pengendalian biaya usaha. Kedua, untuk produk-produknya kita tidak bisa lagi mengandalkan bahan buku lama, termasuk pengarang-pengarangnya. Dalam menggencarkan pemasaran yang baru nanti Djambatan akan membentuk tim kreatif sendiri, termasuk tim penulisnya. Kemudian Djambatan tidak lagi harus mengandalkan outlet penerbit besar, seperti Gramedia dan Gunung Agung. Saya berusaha untuk membentuk tim distributor yang akan masuk ke kampus-kampus dengan membuka penjualan buku-buku Djambatan yang jauh lebih murah tentunya daripada membelinya di toko-toko buku. Dan, sesuai dengan perkembangan teknologi sekarang, Djambatan pun akan membuka toko buku Djambatan online, “ katanya memaparkan dengan bersemangat.

Sepanjang sejarahnya, memang belum pernah ada buku-buku terbitan Djambatan yang dilarang beredar. Beberapa judul buku malah pernah menerima penghargaan. Menyebut beberapa judul yang pernah menerima penghargaan berdasarkan kriteria isi buku, antara lain : Ziarah, novel Iwan Simatupang, pemenang hadiah sastra Asean 1972 dan Burung-Burung Manyar, pemenang South East Asia Write Award 1983.

* Tulisan ini telah dipublikan sebelumnya di majalah budaya TAPIAN, edisi Oktober 2008, dalam rubrik Dibalik Buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar