googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: Di Tepi Jurang Kebangkrutan

Selasa, 16 Desember 2008

Di Tepi Jurang Kebangkrutan



By Sahala Napitupulu.

Si tua yang sarat beban. Barangkali itulah julukan yang pantas untuk Balai Pustaka. Tua dan tertatih-tatih menanggung beban di pundaknya. Gamang untuk tetap hidup, tapi segan untuk mati. Tengoklah, umurnya jauh lebih tua dari umur negara Indonesia sendiri. Balai Pustaka atau Balai Poestaka adalah sebuah perusahaan penerbitan sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Didirikan seratus tahun silam, tepatnya 14 September 1908, oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan nama Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Untuk Bacaan rakyat.

Komisi tersebut, dahulu didirikan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa daerah yang dimaksud adalah Jawa, Sunda, Melayu dan Madura.. Namun, ada juga yang menyebutkan Komisi ini didirikan untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan kaum pribumi melalui tulisan.

Konon, pada masa itu, berbagai tulisan anti-Belanda sudah mulai bermunculan di Koran-koran daerah, meski dalam skala kecil. Sehingga Komisi Untuk Bacaan Rakyat ini dipakai oleh Belanda untuk menyalurkan aspirasi penulis kaum pribumi secara elegan asal tidak bertentangan dengan kepentingan si penjajah Belanda. Tujuan lainnya, untuk menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa. Konon, supaya rakyat Indonesia terlupa dengan informasi yang berkembang di negerinya sendiri.

Tapi, ternyata tak semua kerja Komisi bikinan Belanda ini negatif. Karena, dalam perannya yang lain, pada masa itu, Komisi inilah yang merintis perpustakaan di tiap-tiap sekolah dan meminjamkan buku-bukunya secara teratur. Juga memberikan bantuan kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan Taman Bacaan. Selain itu, Komisi ini juga menerbitkan majalah untuk bacaan rakyat. Sebutlah Sari Pustaka dan Panji Pustaka, yang terbit dalam bahasa Melayu dan Jawa. Ada lagi majalah Parahiangan, terbit dalam bahasa Sunda. Yang tak kalah penting, dalam proses sejarahnya, setelah berhasil sebagai pencetak, penerbit dan penjual majalah, komisi lalu berganti nama menjadi Balai Poestaka pada 22 September tahun 1917.

Gerakan sastra.

Begitulah proses yang melahirkan Balai Pustaka, yang kemudian dikenal sebagai penerbit buku-buku sastra. Kala itu, buku-buku terbitannya menjadi penting, karena ia menjadi semacam pusat gerakan sastra untuk melawan bacaan-bacaan berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul yang banyak beredar, terutama dalam bahasa Melayu rendah. Cerita-cerita berbau cabul waktu itu banyak menyoroti kehidupan nyai atau gundik-gundik Belanda. Sedangkan Balai Pustaka tampil dengan karya-karya sastra serius, seperti roman Siti Noerbaja, Dibawah Lindungan Ka’bah dan lain-lain. Dan buku-buku Balai Pustaka kala itu banyak ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Dan dalam jumlah terbatas ada pula dalam bahasa Bali, Batak dan Madura.

Sebagai sebuah “ gerakan “ sastra, para sastrawan Balai Pustaka di kemudian hari lebih dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka. Karya sastra mereka mendapat tempat terutama dikalangan kaum terpelajar dan para intelektual. Karya sastra mereka menggeser dominasi karya-karya Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama seperti pantun, gurindam dan hikayat. Berkat peranan Balai Pustaka, roman Siti Noerbaja karangan marah Rusli, Dibawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Atheis karya Achdiat K.Mihardja, Layar Terkembang buah pena Sutan Takdir Alisyahbana menjadi begitu terkenal hingga hari ini. Juga novel-novel Pramoedya Ananta Toer, seperti Di tepi Kali Bekasi.

Karya sastra dalam bahasa Jawa pun mendapat tempat. Ini terlihat dalam jumlah buku yang diterbitkan oleh Balai Poestaka berbahasa Jawa yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan berbahasa Melayu. Tengoklah pada katalog Balai Pustaka tahun 1920. Ada hampir 200 judul buku yang diterbitkan dalam bahasa Jawa, hampir 100 judul buku berbahasa Sunda, 80 judul berbahasa Melayu dan 40 judul berbahasa Madura. Di masa itu pula lahir novel Serat Rijanto karangan raden bagus Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa Modern. Sedangkan Nur Sutan Iskandar boleh disebut pengarang paling produktif, karena banyak karya tulisnya diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Belanda kemudian kalah dalam perang melawan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap dipertahankan. Hanya namanya berganti menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, yang artinya lebih kurang Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Moliter Jepang. Dan sesudaj Indonesia merdeka, namanya dikembalikan lagi menjadi Balai Pustaka.

Tak diragukan, sepanjang sejarahnya, Balai Pustaka telah tercitrakan sebagai penerbit bermutu. Selain menerbitkan buku-buku pelajaran, yang kemudian disebarkan ke sekolah-sekolah, Balai Pustaka sangat berjasa dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Balai Pustaka menerbitkan sekitar 350 judul buku pertahunnya. Meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa-bahasa daerah, karya sastra, sosial, politik, agama, ekonomi dan lain-lain.

Karena perannya yang begitu besar dalam pencerdasan anak bangsa dan dalam menyebar luaskan bahasa Melayu sebagai cikal bahasa Indonesia, maka Balai Pustaka tetap dipertahankan hingga sekarang. Kalau bukan karena nilai historisnya itu, Balai Pustaka sudah lama dilupakan. Paling tidak, niat pemerintah untuk melikuidasinya pernah terungkap tahun 1990. Karena dia satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang berada dibawah naungan Departemen P&K yang dianggap hanya menjadi beban. Beban yang berat untuk dipikul karena banyaknya hutang yang melilit.

Pada awal 1970-an pengarang K.Usman, yang duduk sebagai staf, pernah dijebloskan ke dalam tahanan militer selama dua tahun, karena dia membongkar terjadinya korupsi besar-besaran di kantor kesayangannya itu. Pengarang asal Palembang ini diperlakukan semena-mena, tanpa proses hukum.

Direktur Utama Balai Pustaka sekarang, Dr Zaim Uchrawi, mantan wartawan majalah TEMPO dan Republika, mengutarakan sejumlah persoalan yang membelit Balai Pustaka. Katanya, sebelum dia dipercaya menjadi Direktur Utama ia telah mewarisi beban utang sekitar Rp 100 miliar. Belum termasuk hutang royalty senilai Rp 3,5 miliar pada penulis atau ahli waris dari pengarang yang karyanya dahulu diterbitkan Balai Pustaka.

Dalam kondisi terlilit hutang, jelas sulit bagi Balai Pustaka untuk bisa bergerak dan mengembangkan dirinya. Untuk menjadikan Balai Pustaka sebuah BUMN yang sehat, tentu saja sangat dibutuhkan kucuran dana dari pemerintah. Dan tak kalah penting, pemerintah harus segera mengambil tindakan : apakah Balai Pustaka akan dikembangkan atau ditutup saja atau diswastakan saja ? Karena pemerintah kelihatannya setengah hati. Balai Pustaka dibiarkan hidup sebagai BUMN, tapi nasibnya diabaikan.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalah budaya TAPIAN, edisi Desember 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar