googledd0973f9307bb074.html BUKU BUKAN KUBU: Tak Ada yang Bekas di Buku Bekas

Kamis, 18 Desember 2008

Tak Ada yang Bekas di Buku Bekas













( foto : penjual buku bekas di pasar Senen )

By Sahala Napitupulu.

Pedagang buku bekas bukan sekedar alternatif untuk para peminat buku. Mereka adalah sumber dokumentasi sejarah dan perkembangan sosial. Tengoklah koleksi Pusat Dokumentasi Sastra H.B.Jassin yang berada di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perpustakaan yang cukup lengkap dalam mendokumentasikan kesusastraan Indonesia. Siapa yang menyangka koleksi buku di rak-rak perpustakaan itu sebagian didapatkan H.B.Jassin dari berburu disejumlah pedagang buku loak, terutama dibilangan Senen-Kwitang. Tokoh nasional yang pernah duduk sebagai wakil presiden, Adam Malik, juga memperkaya khazanah perpustakaannya dengan buku-buku yang didapatkan dari toko buku loak Senen.

Para pedagang yang berasal dari Tapanuli tak sedikit yang menekuni bisnis yang satu ini. Mereka menggelar buku-bukunya dari pagi hingga malam. Di toko yang permanen atau emperan. Bidang usaha ini ternyata menjalar juga sampai ke Taman Mini Indonesia Indah. Dan, tidak hanya buku bekas, tapi juga buku langka. Yang memeloporinya adalah pedagang bermarga Siregar. Untuk keuletannya itu dia memperoleh hadiah kios dari Bu Tien.

Ada sosok lain yang menekuni bidang ini, namanya Hendra Marpaung. Sudah lima tahun dia bergumul dengan buku bekas dan langka. Semula, dia berdagang di Senen meneruskan usaha amongnya. “ Bapak saya sudah menjadi penjual buku sejak tahun 80-an, tapi sejak bapak meninggal saya yang meneruskan, “ katanya menuturkan kisahnya.

Dari keuntungan menjual buku-buku bekas ini dia dapat membantu adiknya kuliah. Jenis buku yang dia jual kebanyakan buku pelajaran dan buku umum, sehingga tidak heran pembelinya banyak dari kalangan pelajar dan mahasiswa. “ Jika musim awal pelajaran, awal kuliah, penjualan kami bisa meningkat sampai 70 persen, “ katanya. Dia berterus terang menceritakan dia juag menjual buku-buku bajakan, untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Penjualannya sehari bisa sampai Rp 100.000. Tahun ajaran baru berarti panen besar. Penjualan bisa mencapai jutaan rupiah.

Senada dengan Hendra adalah Elistra boru Simanjuntak. Sudah lima tahun dia mencari nafkah hidupnya dengan berjualan buku bekas di pasar Senen. “ Suami saya sudah terjun sebagai penjual buku bekas di pasar Senen ini sejak 90-an, “ katanya. Buku-buku yang menempati kiosnya kebanyakan buku-buku pelajaran dan buku umum. Ketika ditanya apakah dia membaca buku-buku yang dia jual, Elistra mengaku sama sekali tidak membacanya kecuali sekedar tahu judul, pengarang dan penerbit buku yang dia jual. “ Enggak ada misi hidup dalam pekerjaan ini kecuali cari nafkah, “ ucapnya sepolos kertas.

Buat peminat buku dengan kantong pas-pasan, keberadaan pedagang buku bekas amat membantu. Karena harganya yang miring. Pembelinya sendiri kadang tidak terlalu perduli apakah itu buku bekas, buku asli atau buku bajakan. Yang penting harganya murah. Robinson Tambunan paham benar tentang sikap pembeli itu. Karena itu, ia mengakui hanya mengambil keuntungan sedikit, antara 5 sampai 10 persen.

Diantara buku-buku bekas, banyak juga buku-buku baru yang digelar. Menurut penjelasan beberapa pedagang, mereka memang menerima pasokan dari beberapa penerbit untuk dipasarkan. Sifatnya bisa dibayar berjangka, sesuai dengan kesepakatan. Robinson Tambunan sendiri mengaku lebih memilih pembelian secara “putus”, sehingga tidak ada hutang-piutang.

Gaya Hidup dan Kebanggaan

Selain buku, majalah dan komik turut pula meramaikan pajangan. Rudy Saragih termasuk pedagang gado-gado seperti itu. Sekalipun bergumul bertahun-tahun dengan buku, Robinson maupun Rudy mengaku tidak banyak membaca buku, kecuali yang benar-benar menarik minat mereka.

Ada keistimewaan di Taman Mini Indonesia Indah. Dari segi akumulasi uang, maka sorga ada disini. Transaksi buku bisa mencapai jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Mahal karena buku langka.

Dikalangan pedagang ada perbedaan istilah buku tua (kuno) dengan buku langka. Kata Dolly Irwansyah Siregar, yang disebut buku kuno itu semata-mata dihitung berdasarkan tahun penerbitannya. Sedangkan yang disebut buku langka karena memang bukunya itu sudah langka di pasar.

“ Dahulu pada masa ayah saya, pernah ada orang asing menawar buku karya Georgius E.Rumphius, berjudul Amboinsch Kruidboek, terbitan tahun 1743, buku tentang rempah-rempah di Indonesia, seharga 50 juta rupiah, tapi enggak dilepas, “ katanya Dolly. Karena buku itu sangat langka. “ Buku tua itu, kalau kita tahan, tambah lama, tambah tahun, lebih tinggi lagi harganya, “ katanya senang. “ Yang sudah dilepas adalah buku Oud en Nieuwe Oost Inddnen, penulis Valentijin, terbitan tahun 1747, seharga 50 juta. Pembelinya orang Jerman. “

Dengan menempati beberapa kios di sebuah anjungan Papua, Dolly menjajakan buku-bukunya kepada para pengunjung TMII. Sama seperti Hendra Marpaung, dia menjadi penjual buku karena meneruskan usaha yang telah dirintis almarhum ayahnya. Ia mengaku senang dengan profesinya ini, karena selain keuntungannya lumayan, dia dapat menyalurkan minatnya pada sejarah.

Buku-buku kuno, buku-buku langka, yang dia jual dengan harga tinggi memang hanya untuk kalangan tertentu. Diantaranya para peneliti, atau yang akan menyusun disertasi serta kalangan perpustakaan. Selebihnya adalah para kolektor buku tua. Memiliki buku kuno atau buku langka, selain menyimpan nilai historis dan berisi ilmu pengetahuan, boleh jadi bagian dari gaya hidup dan kebanggaan tersendiri bagi para kolektor.

Buku, sebagai benda bisa saja kita sebut sebagai buku bekas, buku loak, buku kuno atau buku langka. Namun, dia adalah jendela dunia, sumber ilmu pengetahuan yang tidak mengenal istilah “bekas”.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya di majalahTAPIAN, edisi Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar